Tes Paragraf

Wednesday, May 15, 2013

DISIPLIN TERHADAP WAKTU



Waktu menunjukkan pukul 07.25 WIB, ketika Pak Badrun melirik ke jam dinding yang menempel di dinding ruang kerjanya. Dia sedang menyusun sebuah laporan tentang kegiatan yang berhubungan dengan kinerja kepala sekolah yang telah diembannya kurang lebih selama tiga tahun ini.  Tiba-tiba ia mendengar suara yang gaduh, mulanya tedengar lamat-lamat lalu perlahan berubah riuh. Mendengar keributan, Pak Badrun yang menjabat sebagai kepala sekolah SMP Negeri yang cukup terkenal di kota kabupaten, segera keluar ruangannya untuk mencari sumber keriuhan tersebut. Kegaduhan ternyata bersumber dari sebuah kelas yang kebetulan tidak ada gurunya. Pak Badrun hanya bisa mengurut dada ketika menyaksikan para siswa yang sedang asyik bercanda ria dan bermain-main. Langkahnya yang tegap dan pasti memasuki kelas tersebut, dengan arif ia mencoba untuk menenangkan anak-anak didiknya.
Tak berselang lama, guru yang seharusnya mengajar di kelas itu datang. Dengan langkah pelan dia menghampiri kepala sekolah dan dengan sedikit berbasa basi, ia mohon maaf dan memberikan alasan keterlambatannya. Pak Badrun dapat memakluminya dan memberikan toleransi. Beberapa hari kemudian kejadian serupa terulang kembali. Kali ini tidak satu dua guru yang terlambat, tetapi hampir setengahnya yang terlambat masuk ke dalam kelas. Pak Badrun hanya bisa menghela napas, pertanda ia kecewa atas kinerja bawahannya.
Kejadian di atas merupakan sebuah budaya di tengah masyarakat kita. Kalau budaya buruk terjadi di berbagai bidang kehidupan, bisa dibayangkan dampaknya. Keterlambatan guru di kelas saja membuat siswa terlantar. Bagaimana kalau seorang dokter terlambat mengobati pasiennya?
Sebenarnya keterlambatan yang kerap terjadi hingga melalaikan kewajiban, itu berangkat dari keengganan seseorang menata waktunya dengan sebaik mungkin. Ini sungguh berbeda apabila kita melihat bagaimana sikap para sahabat Rasullah SAW dalam menghargai waktu. Ketika Nabi SAW datang ke Madinah, Zaid bin Tsabit berusia sebelas tahun. Namun dalam usianya yang masih dini, Zaid sudah dapat menghafal enembelas surat panjang dari wahyu Al-Qur’an yang telah diturunkan. Dia (Zaid) sempat mengikuti perang Khandaq dan beberapa peperangan sesudahnya. Pada saat perang Tabuk meletus, Rasulullah SAW menyerahkan bendera Bani Najar kepadanya, yang semula di pegang oleh Umaroh bin Hazm. Salah seorang sahabat bertanya, kenapa bendera itu diserahkan kepada Zaid yang masih muda. Beliau menjawab, “Al-Qur’an wajib didahulukan, sedangkan Zaid orang yang lebih banyak hafalan Qur’annya.”
Selanjutnya, Rasulullah menyuruh Zaid bin Tsabit membuat surat dan mengirimkannya kepada suatu kaum. Untuk mengetahui bahasa kaum tersebut, ia pun mempelajari bahasa Suryani hingga mahir, selama tujuh belas hari. Ia menjadi juru kunci Madinah dalam urusan peradilan, fatwa, qira’at, fara’id dalam usia tiga puluh tahun.
Demikian sejrah gemilang yang berhasil diraih oleh seorang sahabat Rasul yang mengundang kagum di hati kita. Lalu, timbul pertanyaan, bagaimanakah kiat mencapai prestasi gemilang? Tentu saja jawabannya adalah kedisiplinan tinggi dalam memanfaatkan waktu.
Akibat buruknya menata waktu, seorang sahabat bernama Abdullah bin Khansa’ pernah menuturkan penyesalannya telah mengecewakan Rasul. Ia bercerit, “sebelum beliau (Muhammad) diangkat menjadi Rasul, aku pernah membuat janji dengannya untuk datang pada waktu yang telah ditentukan. Tetapi pada hari yang telah ditetapkan aku lupa. Setelah lewat tiga hari, aku datang. Dan ternyata beliau ada di sana. Rasul SAW berkata, “Hai anak muda, kamu telah membuat kesulitan kepadaku. Aku disini sejak tiga hari yang lalu menunggumu.”(HR Abu Daud).
Ini menunjukkan betapa pentingnya waktu. Sampai-sampai Allah bersumpah dengan waktu dalam rangka mengingatkan akan kewajiban beriman, beramal shalih, dan saling menasihati.
Setiap makhluk hidup akan berpacu dengan waktu. Meskipun semua bekerja dalam satuan waktu, sayangnya, tidak banyak orang yang menyadari keberadaannya dalam waktu. Banyak dari kita  yang merasa bebas dan seolah tidak dibatasi oleh sesuatu apapun. Akibatnya seringkali kita terjebak pada kegiatan yang tidak bermanfaat. Allah SWT berfirman, “Tiap jiwa akan merasa mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan,”(QS al-Anbiya:35).
Rentang waktu yang panjang dari mulai kita dilahirkan hingga meninggal dunia adalah kesempatan yang diberikan Allah SWT agar kita pandai-pandai mengisinya dengan berbagai amaliyah positif. Kelak di hari kiamat nanti, semua itu akan dijadikan pertimbangan dimana kita ditempatkan.
Allah SWT mengingatkan kita akan pentingnya waktu. “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang batas waktunya, mereka tidak mengundurkanny barang sesaat pun dan tidak pula memajukannya,”(QS al-A’raf:34).
Dengan demikian umat manusia sebenarnya sedang berhadapan dengan masalah besar, yaitu bagaimana memanfaatkan waktu yang amat singkat ini dengan amalan shalih yang sebesar-besarnya. Sementara kehidupan dunia dengan segala perhiasannya menjadi penyebab kelalaian manusia. Untuk itu Rasulullah SAW mengingatkan, “Dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu olehnya. Yaitu sehat dan waktu luang,”(HR Bukhari).
Al-Qur’an lebih tegas menggambarkan manusia-manusia yang menyesal karena telah menyia-nyiakan kesempatan (waktu) yang telah diberikan Allah kepada-Nya. “...Dan berkatalah orang-orang yang zhalim, ‘Ya Rabb kami, beri tangguhlah kami, niscaya kami akan sambut seruan dakwah Engkau dan kami akan mengikuti para rasul. ‘(Kepada mereka dikatakan), ‘Bukankah kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa’, (QS Ibrahim:44).
Introspeksi sejenak. Saatnyalah buat kita berbenah diri untuk menata waktu kita dengan segala karya dan aktivitas ibadah. Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanyalah sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa,”(QS an-Nisaa:77).
(Dari berbagai sumber)

0 komentar:

Post a Comment