Tes Paragraf

Monday, August 5, 2013

Abu Nawas Pura-pura Gila



Sebelum nenemui ajal, ayah Abu Nawas, Maulana, berpesan kepada Abu Nawas agar menjaga telinga. Maka, tatkala ayahnya wafat, Abu Nawas diterpa duka. Beban itu kian berat terasa sebab Baginda justru berencana mengangkat Abu Nawas jadi Kadi (hakim). Maklum, ayah Abu Nawas dahulu adalah Kadi dan Abu Nawas dipandang Baginda layak untuk menggantikan posisi itu.

Rencana raja mengangkat Abu Nawas mendadak membuatnya menjadi gila. Usai upacara pemakaman ayahnya, Abu Nawas mengundang heran sejumlah pelayat. Tak banyak bicara, dia mengambil batang pisang lantas memperlakukannya seperti kuda. Abu Nawas menungganginya seraya berlari-lari dari makam sampai ke rumah. Sontak, orang-orang menganggap Abu Nawas sudah gila akibat ditinggal ayahnya. Dugaan itu kian benar, apalagi pada kesempatan lain, Abu Nawas mengajak anak-anak kecil pergi ke makam ayahnya. Lalu, atas makam ayahnya itu, Abu Nawas mengajak anak-anak bermain rebana dan bersuka cita.
Tetapi, niat Baginda untuk mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi masih kuat. Maka, Baginda meminta para pengawal untuk memanggil Abu Nawas menghadap Baginda raja. Tapi dasar Abu Nawas! Ia bukan menghadap baginda, malah menantangnya. Tak salah, jika pengawal itu lantas melaporkan ulah Abu Nawas dan raja langsung meminta para pengawalnya untuk menyeret paksa Abu Nawas. Setelah dihadapkan di depan Baginda, anehnya Abu Nawas tetap tidak berubah, bahkan terlihat bodoh.
“Abu Nawas, bersikaplah sopan!” tegur Baginda.
“Ya Baginda, tahukah Anda...?”
“Tahu apa...?”
“Terasi itu asalnya dari udang, Baginda!”
“Kurang ajar, kalau itu sudah aku tahu!”
”Tidak...Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?”
Baginda merasa dilecehkan. Ia naik pitam dan segera memberi perintah, “Hajar dia! Pukul sebanyak dua puluh lima kali!”
Abu Nawas yang kurus kering itu pun lemas tak berdaya. Dengan sempoyongan ia pulang. Tapi sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga. “Hai Abu Nawas! Tempo hari sebelum kau masuk kota ini kita telah mengadakan perjajian. Masak kau lupa? Jika kau diberi hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau sat bagian, aku satu bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?” tagih si penjaga.
“Hai..penjaga, apa kau benar-benar menginginkan hadiah itu?”
“Tentu! Bukankah itu sudah merupakan perjanjian kita?”
“Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!”
“Ternyata..., kau baik hati Abu Nawas. Memang seharusnya begitu, lantaran kau sudah sering menerima hadiah dari Baginda.”
Tanpa banyak kata, Abu Nawas langsung mengambil sebatang kayu lalu orang itu dipukulnya sebanyak dua puluh lima kali. Tentu, orang itu menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas sudah gila. Setelah si penjaga gerbang kota itu klenger, Abu Nawas pergi meninggalkannya begitu saja.
Kelakuan Abu Nawas yang semakin tidak waras itu akhirnya membuat Baginda raja mengadakan rapat.”Aku mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi, tapi belakangan ini Abu Nawas semakin aneh! Lalu, apa pendapat kalian?” tanya Baginda.
Wazir atau perdana menteri berkata, “Melihat Abu Nawas yang semakin parah otaknya, sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja!”.
Usul wazir itu pun disetujui oleh menteri-menteri lain.
“Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi Kadi.”
“Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari karena bapaknya baru wafat. Jika tidak sembuh-sembuh, kita mencari Kadi yang lain saja.”
Setelah lewat satu bulan, Abu Nawas tidak berubah. Maka, raja mengangkat orang lain dijadikan Kadi. Tapi saat Abu Nawas mendengar raja mengangkat orang lain sebagai Kadi, bukan dirinya, ia seketika sembuh. Abu Nawas sembuh karena ia berhasil memegang teguh pesan ayahnya sebelum ajal datang. Pada saat ayah Abu Nawas sakit mendekati ajal, sang ayah memanggil Abu Nawas. Abu Nawas datang dan sempat bercengkrama dengan ayahnya. “Anakku, aku sudah hampir meninggal...Kini ciumlah telinga kanan dan telinga kiriku!” pinta ayah Abu Nawas.
Abu Nawas menuruti permintaan terakhir ayahnya. Ia mecium telinga kanan sang ayah, dan ia menghirup bau harum, sedangkan telinga yang sebelah kiri berbau busuk.
“Sudahkah kau menciumnya, wahai anakku?”
“Sudah, ayah! Tapi,...!”
“Tapi, apa? Ceritakan dengan sejujurnya, bau kedua telingaku itu!”
“Sungguh mengherankan, telinga ayah yang sebelah kanan bau harum sekali. Tapi...yang sebelah kirinya baunya sangat busuk!”
“Hai anakku, tahukah kamu...apa sebabnya bisa seperti itu?”
“Wahai ayahku, cobalah ceritakan pada anakmu ini!”
Lalu ayah Abu Nawas bercerita, “Pada suatu hari, datang dua orang mengadu masalah kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suka, maka tak kudengarkan. Inilah resiko jadi Kadi. Jika kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hal yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi Kadi, maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak, Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi.” (Majalah Hidayah Edisi 86/ Oktober 2008)

0 komentar:

Post a Comment