Waktu
menunjukkan pukul 07.25 WIB, ketika Pak Badrun melirik ke jam dinding yang
menempel di dinding ruang kerjanya. Dia sedang menyusun sebuah laporan tentang
kegiatan yang berhubungan dengan kinerja kepala sekolah yang telah diembannya
kurang lebih selama tiga tahun ini. Tiba-tiba
ia mendengar suara yang gaduh, mulanya tedengar lamat-lamat lalu perlahan
berubah riuh. Mendengar keributan, Pak Badrun yang menjabat sebagai kepala
sekolah SMP Negeri yang cukup terkenal di kota kabupaten, segera keluar
ruangannya untuk mencari sumber keriuhan tersebut. Kegaduhan ternyata bersumber
dari sebuah kelas yang kebetulan tidak ada gurunya. Pak Badrun hanya bisa
mengurut dada ketika menyaksikan para siswa yang sedang asyik bercanda ria dan
bermain-main. Langkahnya yang tegap dan pasti memasuki kelas tersebut, dengan
arif ia mencoba untuk menenangkan anak-anak didiknya.
Tak
berselang lama, guru yang seharusnya mengajar di kelas itu datang. Dengan
langkah pelan dia menghampiri kepala sekolah dan dengan sedikit berbasa basi,
ia mohon maaf dan memberikan alasan keterlambatannya. Pak Badrun dapat
memakluminya dan memberikan toleransi. Beberapa hari kemudian kejadian serupa
terulang kembali. Kali ini tidak satu dua guru yang terlambat, tetapi hampir setengahnya
yang terlambat masuk ke dalam kelas. Pak Badrun hanya bisa menghela napas,
pertanda ia kecewa atas kinerja bawahannya.
Kejadian
di atas merupakan sebuah budaya di tengah masyarakat kita. Kalau budaya buruk
terjadi di berbagai bidang kehidupan, bisa dibayangkan dampaknya. Keterlambatan
guru di kelas saja membuat siswa terlantar. Bagaimana kalau seorang dokter
terlambat mengobati pasiennya?
Sebenarnya
keterlambatan yang kerap terjadi hingga melalaikan kewajiban, itu berangkat
dari keengganan seseorang menata waktunya dengan sebaik mungkin. Ini sungguh
berbeda apabila kita melihat bagaimana sikap para sahabat Rasullah SAW dalam
menghargai waktu. Ketika Nabi SAW datang ke Madinah, Zaid bin Tsabit berusia
sebelas tahun. Namun dalam usianya yang masih dini, Zaid sudah dapat menghafal
enembelas surat panjang dari wahyu Al-Qur’an yang telah diturunkan. Dia (Zaid)
sempat mengikuti perang Khandaq dan beberapa peperangan sesudahnya. Pada saat
perang Tabuk meletus, Rasulullah SAW menyerahkan bendera Bani Najar kepadanya,
yang semula di pegang oleh Umaroh bin Hazm. Salah seorang sahabat bertanya,
kenapa bendera itu diserahkan kepada Zaid yang masih muda. Beliau menjawab,
“Al-Qur’an wajib didahulukan, sedangkan Zaid orang yang lebih banyak hafalan
Qur’annya.”
Selanjutnya,
Rasulullah menyuruh Zaid bin Tsabit membuat surat dan mengirimkannya kepada
suatu kaum. Untuk mengetahui bahasa kaum tersebut, ia pun mempelajari bahasa
Suryani hingga mahir, selama tujuh belas hari. Ia menjadi juru kunci Madinah
dalam urusan peradilan, fatwa, qira’at, fara’id dalam usia tiga puluh tahun.
Demikian
sejrah gemilang yang berhasil diraih oleh seorang sahabat Rasul yang mengundang
kagum di hati kita. Lalu, timbul pertanyaan, bagaimanakah kiat mencapai
prestasi gemilang? Tentu saja jawabannya adalah kedisiplinan tinggi dalam
memanfaatkan waktu.
Akibat
buruknya menata waktu, seorang sahabat bernama Abdullah bin Khansa’ pernah
menuturkan penyesalannya telah mengecewakan Rasul. Ia bercerit, “sebelum beliau
(Muhammad) diangkat menjadi Rasul, aku pernah membuat janji dengannya untuk
datang pada waktu yang telah ditentukan. Tetapi pada hari yang telah ditetapkan
aku lupa. Setelah lewat tiga hari, aku datang. Dan ternyata beliau ada di sana.
Rasul SAW berkata, “Hai anak muda, kamu telah membuat kesulitan kepadaku. Aku
disini sejak tiga hari yang lalu menunggumu.”(HR Abu Daud).
Ini
menunjukkan betapa pentingnya waktu. Sampai-sampai Allah bersumpah dengan waktu
dalam rangka mengingatkan akan kewajiban beriman, beramal shalih, dan saling
menasihati.
Setiap
makhluk hidup akan berpacu dengan waktu. Meskipun semua bekerja dalam satuan
waktu, sayangnya, tidak banyak orang yang menyadari keberadaannya dalam waktu.
Banyak dari kita yang merasa bebas dan
seolah tidak dibatasi oleh sesuatu apapun. Akibatnya seringkali kita terjebak
pada kegiatan yang tidak bermanfaat. Allah SWT berfirman, “Tiap jiwa akan
merasa mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan (yang sebenarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan,”(QS
al-Anbiya:35).
Rentang
waktu yang panjang dari mulai kita dilahirkan hingga meninggal dunia adalah
kesempatan yang diberikan Allah SWT agar kita pandai-pandai mengisinya dengan
berbagai amaliyah positif. Kelak di hari kiamat nanti, semua itu akan dijadikan
pertimbangan dimana kita ditempatkan.
Allah SWT
mengingatkan kita akan pentingnya waktu. “Tiap-tiap umat mempunyai batas
waktu, maka apabila telah datang batas waktunya, mereka tidak mengundurkanny
barang sesaat pun dan tidak pula memajukannya,”(QS al-A’raf:34).
Dengan
demikian umat manusia sebenarnya sedang berhadapan dengan masalah besar, yaitu
bagaimana memanfaatkan waktu yang amat singkat ini dengan amalan shalih yang
sebesar-besarnya. Sementara kehidupan dunia dengan segala perhiasannya menjadi
penyebab kelalaian manusia. Untuk itu Rasulullah SAW mengingatkan, “Dua
nikmat yang kebanyakan manusia tertipu olehnya. Yaitu sehat dan waktu
luang,”(HR Bukhari).
Al-Qur’an
lebih tegas menggambarkan manusia-manusia yang menyesal karena telah
menyia-nyiakan kesempatan (waktu) yang telah diberikan Allah kepada-Nya.
“...Dan berkatalah orang-orang yang zhalim, ‘Ya Rabb kami, beri tangguhlah
kami, niscaya kami akan sambut seruan dakwah Engkau dan kami akan mengikuti
para rasul. ‘(Kepada mereka dikatakan), ‘Bukankah kamu telah bersumpah dahulu
(di dunia) bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa’, (QS Ibrahim:44).
Introspeksi
sejenak. Saatnyalah buat kita berbenah diri untuk menata waktu kita dengan
segala karya dan aktivitas ibadah. Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Kesenangan
di dunia ini hanyalah sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang
yang bertaqwa,”(QS an-Nisaa:77).
(Dari berbagai sumber)
|