Ujung Jalan

Akhir perjalanan adalah maut. Dunia adalah kendaraan seorang mukmin, yang dengannya dia berangkat menuju Tuhanya. Maka perbaikilah kendaraan kalian, niscaya ia akan membawa kepada Tuhan kalian.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rumah di atas laut

Senja di Perkampungan Suku Laut. Usiaku memasuki rembang petang digerogoti oleh zaman, mentari sebentar lagi kan tenggelam berganti dengan malam.

KEANGKUHAN

Ketegaranku untuk mempertahankan kokohnya pendirian. Aku berdiri tegak ditopang dengan dengan kekuatan yang maha dahsyat.

KINCIR ANGIN

Tak pernah lelah aku selalu bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Kadang aku berada diatas kadang di bawah selalu berganti. Aku bekerja siang dan malam.

Tes Paragraf

Showing posts with label Humor. Show all posts
Showing posts with label Humor. Show all posts

Friday, November 23, 2018

Humor Sufi: Mungkinkah Ayam yang Sudah Dimasak Dapat Bertelur?


Suatu saat, seorang pedagang melakukan perjalanan. Karena kelelahan, ia memutuskan untuk bermalam di sebuah penginapan. Tak berselang lama, pelayan hotel menyuguhkan ayam dan dua butir telur serta sepotong roti untuk santap malam. Keesokan harinya, pedagang itu bermaksud melanjutkan perjalanannya.
“Soal tagihanku, kita perhitungkan nanti saja setelah aku kembali,” kata pedagang itu. Tak terasa tiga bulan berlalu. Pedagang itu kembali bermalam di penginapan itu. Pelayan hotel kembali menyuguhkan ayam dan dua butir telur seperti sebelumnya. Ketika pedagang itu bangkit dan pergi, ia menemui pengelola hotel.
“Maaf Pak, sudah lama aku belum mebayar utang. Berapa jumlah utangku sekarang?” kata pedagang itu membuka percakapan.
“Wah, itu sudah lama sekali. Bayar saja aku dua ratus piesters (nilai mata uang yang cukup besar waktu itu), lalu kau boleh pergi,” jawab pemilik hotel.
Pedagang yang tahu betapa harganya uang sebesar itu menjawab, “Wahai Tuan, apakah engkau sudah gila? Apa maksud permintaanmu dua ratus piesters sebagai harga dari dua potong ayam dan empat telur?”
“Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa seharusnya sudah lama kau harus melunasinya. Jika aku terangkan secara rinci, maka akan jelas permasalahannya. Dan engkau tidak bisa mengelak karena engkau sudah datang sejak tiga bulan lalu ke penginapan ini.
“Ayam yang engkau makan tiga bulan lalu jika setiap hari bertelur pasti sudah mengeluarkan telur yang banyak sekali dan jika telur-telur itu diletakkan dibawahnya agar dierami, maka akan menetas beberapa ekor anak ayam, dan jika ayam-ayam itu besar pasti akan bertelur lagi.
“Dan jika semua itu dijumlahkan, maka aku akan mempunyai pasukan ayam dan jumlahnya pasti sudah ribuan piesters saja, dan pasti jumlah yang aku minta terlalu sedikit dibanding kerugian yang semestinya aku terima,” kata pengelola hotel.
Perang mulut di antara mereka terus berlanjut, sehingga pertengkaran ini berakhir di persidangan.
“Apakah engkau tak mampu membayar harga dua ekor ayam dan telurnya?” Tanya jaksa kepada pedagang.
“Karena harganya terlalu murah, aku berkata kepada pemilik penginapan untuk membayarnya nanti saja setelah aku kembali,” jawab sang pedagang.
“Bukankah dua ekor ayam dan empat butir telur dapat menelurkan ribuan telur lagi?”
“Sudah pasti.”

Baca: Tuan Hakim Yang Bodoh 
 
Lantas pedagang tersebut mengutarakan beberapa argumen, namun tidak diterima oleh jaksa. Ketika ia mengetahui bahwa hakim akan menjatuhkan sangsi kepadanya dengan membayar dua ratus piesters, hatinya mulai gusar, dan ia minta kepada hakim untuk menunda putusan. Jaksa pun menunda hasil putusan siding.
Di luar persidangan, pedagang tersebut berdiskusi dengan teman-temanya mengenai langkah apa yang bisa dilakukan dirinya agar mendapatkan putusan yang bijak. Beberapa orang menyarankan kepadanya untuk menemui dan menyampaikan perkaranya kepada Juha.
Akhirnya pedagang tersebut nenemui Juha dan menceritakan permasalahannya dengan rinci. Pedagang tersebut memberi kuasa kepadanya agar membelanya dalam persidangan.
Tapi saat hari persidangan tiba, Juha tidak menunjukkan batang hidungnya. Inilah yang membuat jaksa kesal karena harus menunggu Juha, dan akhirnya ia mengutus seseorang untuk menjemput Juha.
“Mengapa kamu tidak datang tepat waktu dan membiarkan kami menunggu terlalu lama? Kamu telah membuat peserta siding menunggu,” kata jaksa dengan nada marah kepada Juha tatkala Juha menginjakkan kakinya di tempat persidangan.
“Jangan marah Pak, ketika aku ingin datang ke pengadilan pada waktunya, teman yang aku minta untuk menanam gandum di ladang akan datang. Aku menemuinya dan memberikan sebungkus biji gandum yang sudah ditumbuk. Karena sepengetahuanku para petani menanam biji gandum namun aku tidak mendapat bagian dari hasil panennya.
“Oleh karena itulah aku menanam gandum yang sudah ditumbuk dengan harapan dapat menghasilkan panen yang banyak, aku memberikan dua bungkus biji gandum yang sudah ditumbuk. Itulah sebabnya kenapa aku bisa terlambat datang ke persidangan ini,” Juha menerangkan.
“Apakah kalian dengar bahwa biji gandum yang sudah ditumbuk dapat tumbuh kembali?” Tanya jaksa.
“Apakah ayam yang sudah dimasak dapat bertelur? Dan apakah telur itu dapat menetas lalu bekembang menjadi ayam yang besar? Dan apakah pantas menghukum pedagang atas dua ayam, dan empat telur yang dimakannya dengan bayaran sebesar dua ratus piesters?” Juha balik bertanya.
Mendengar penuturan Juha, jaksa tidak bisa berbuat apa-ap. Terpaksa, jaksa membatalkan putusannya dan melepaskan Juha serta memerintahkan pemilik penginapan untuk pulang.
Sumber: Hidayah Edisi 81 Mei 2008

Wednesday, November 21, 2018

HUMOR SUFI: Tuan Hakim Yang Bodoh


Pada suatu tengah malam, seorang pencuri memanjat tembok orang kaya yang terkenal bakhil dan bodoh. Ketika pencuri itu menginjak ambang jendela, ternyata kayunya sudah rapuh hingga runtuh. Akibatnya pencuri itu pun terjerembab ke tanah. Kakinya patah dan tidak dapat berlari. Karena itu, dengan mudah ia diringkus dan dihadapkan kepada hakim.

Konon, hakim negeri itu masih ada hubungan family dengan Raja. Otaknya bebal, dan tadinya tidak punya pekerjaan. Supaya memperoleh penghasilan dan agar ia dapat dikendalikan, Raja justru mengangkat orang bodoh tersebut menjadi hakim.

Begitulah. Malam itu, setelah pencuri berada di mukanya, sang hakim pun bertanya, “Tahukah kamu mengapa dibawa kehadapanku?”.

Pencuri itu berakal cerdik. Maka dengan berani ia menjawab, “Saya dihadapkan kemari untuk mengadukan suatu urusan.”

“Urusan apa?” Tanya hakim.

“Begini. Saya baru saja memanjat tembok orang kaya itu,” sambil menunjuk kea rah si hartawan. “Pada waktu menginjak ambang jendela kamarnya, kayunya patah sehingga saya terjatuh dan luka-luka. Maka saya datang menghadap agar Tuan menghukum orang kaya itu. Karena gara-gara ketelodorannya memasang kayu yang rapuh, saya pun mendapat celaka.”

Hakim goblok itu mengangguk-angguk. “Apa betul, hai hartawan, kayu jendelamu patah?” Orang kaya itu menyahut, “Betul, Tuan.”

Kata hakim bila demikian, engkau akan kuhukum tiga tahun penjara. Jika kelak ternyata si pencuri meninggal dunia, engkau pun akan dihukum mati.”

Hartawan itu gemetar. Namun, dengan kecerdikannya ia menyanggah, “Seharusnya kesalahan itu tidak ditimpakan kepada saya, Tuan Hakim. Sebab bukan saya yang bersalah. Tukang kayu yang memasang jendela itulah yang harus dihukum.”

Hakim goblok itu bisa juga berpikir. Ia menggumam, “Betul, betul. Yang salah memang tukang kayunya. Bukan hartawan ini.”

Maka hakim pun memerintahkan untuk mencari si tukang kayu, sedangkan hartawan tersebut segera dilepaskan.

Setelah tukang kayu itu tertangkap dan dibawa ke meja hijau, hakim bertanya, ”Betulkah kamu yang membuat dan memasang jendela di rumah orang kaya itu?”

Tukang kayu itu mengangguk sejujurnya. Sebab ia merasa tidak punya kesalahan apa-apa.

Hakim berkata, “Kalau begitu, kamu akan dihukum tiga tahun. Sebab, akibat kelalaianmu menyebabkan seorang pencuri terjatuh dan luka-luka. Kalau pencuri itu meninggal dunia, engkau pun akan dihukum mati.”

Untung tukng kayu cepat tanggap. Ia cepat membantah, “Maaf, Tuan Hakimyang terhormat. Saya mengaku membuat jendela itu kurang kuat. Tetapi, yang salah bukan saya.”

“Siapa?” Tanya hakim.

“Seorang gadis berbaju mera.”

“Alasanmu?”

“Begini, Tuan, “jawab tukang kayu. “Waktu saya sedang mengerjakan jendela, lewatlah gadis berbaju merah itu dengan lenggangnya yang menawan. Saya terpesona oleh baju merahnya yang serasi, jadi mata saya tertuju terus kepadanya.”

“Wah, kurang ajar gadis berbaju merah itu, “sambut Tuan Hakim. “Pengawal! Cari dan seret gadis berbaju merah itu kemari.”

“Dengan paksa akhirnya gadis berbaju merah itu di bawa menghadap hakim setelah digerebek di pasar. Ia langsung ditanya oleh hakim. “Apa benar kata tukang kayu? Pada waktu ia sedang membuat jendela, kamu berjalan di muka rumahnya dengan memakai baju mera?”

“Gadis itu mengangguk polos. Dan anggukan itu mengundang malapetaka. Sebab ia pun diancam akan dihukum. Maka dengan keras ia berkilah, “Kalau soal baju merah, sudah tentu yang salah bukan saya.”

“Jadi, siapa?” Tanya hakim menghardik.

“Tukang celup baju. Mengapa ia mencelup baju saya berwarna merah?”

“Hem, alasanmu masuk akal. Memang tukang celup itu yang harus dijatuhi hukuman setimpal,” ujar hakim.

Secara tangkas para punggawa yang diperintahkan menangkap tukang celup dapat menemukan rumahnya. Karena ia tidak bisa berdalih, akhirnya hukuman tiga tahun dijatuhkan kepadanya. Malang pula nasibnya. Beberapa minggu kemudian, si pencuri sakit dan meninggal dunia. Sesuai dengan keputusan semula, si tukang celup yang kebetulan bertubuh amat jngkung itu dikeluarkan dari selnya dan dibawa menuju tiang gantungan untuk dihukum mati.

Baca: Abu Nawas Membuat Onar di Tengah Pasar
 

Sesudah jerat terpasang di leher tukang celup itu, ternyata tiang gantungannya terlalu pendek dibandingkan dengan tinggi badan si tukang celup yang amat jangkung tersebut. Maka selama dua jam tukang celup itu tidak mati-mati.

Algojo pun kebingungan. Ia mendatangi tuan hakim dan mengadu, “Maaf, Tuan. Sudah dua jam tukang celup itu belum mati.”

“Sebabnya?” Tanya hakim keheranan.

“Orangnya terlalu jangkung sedangkan tiang gantungannya sangat pendek.”

“Bodoh kamu,” damprat hakim. “Begitu saja tidak bisa diatasi.”

“Bagaimana, Tuan?” Tanya algojo.

“Jika dia terlalu tinggi, cari lah tukang celup lain yang pendek. Gantunglah tukang celup yang pendek itu.”

Hari itu juga tukang celup yang jangkung dibebaskan, sedangkan seorang tukang celup berbadan kerdil ditangkap lalu dijatuhi hukuman gantung. Ia tidak ada kaitan apa-apa dengan perkara itu.

Kesalahannya Cuma satu: Kebetulan tubuhnya pendek dan hakim negeri itu orang paling bodoh yang pernah memegang wewenang hukum. Untunglah kejadian semacam itu tidak terulang lagi. Sebab, sesudah Raja yang lama meninggal dunia, Raja yang baru adalah seorang pemimpin Negara yang bijak dan adil. 
(Hidayah Edisi 43 Tahun 2005)

Monday, August 12, 2013

Abu Nawas Membuat Onar di Tengah Pasar



Suatu hari Abu Nawas berjalan tergesa-gesa ke pasar. Tetapi tujuan Abu Nawas kali ini bukan untuk transaksi jual beli, melainkan hendak berbuat onar. Setelah tiba di pasar. Abu Nawas kemudian menaiki sebuah tempat yang tinggi itu. Di atas tempat yang tinggi itu, dia lantas berpidato, “Saudara-saudaraku sekalian! Ada yang perlu saudara-saudara ketahui tentang Raja kita yang tercinta, baginda Harun Al Rasyid.”
Orang-orang diam, terhipnotis pidato Abu Nawas. Semua pandangan tertuju ke arah Abu Nawas berdiri, bahkan semua orang tidak sabar menunggu kalnjutan pidato Abu Nawas karena dilanda penasaran.
Tetapi Abu Nawas sempat diam beberapa saat. Ketika semua pandangan mata tertuju padanya, Abu Nawas jadi semakin percaya diri. Maka, dia melanjutkan pidatonya kembali, “Kalian semua harus tahu bahwa sebenarnya Baginda Harun Al Rasyid itu lebih kaya dari Allah!”
Seketika itu, orang-orang tercengang dan nyaris tidak percaya. Maka, suasana menjadi gaduh dan ramai, bahkan nyaris terjadi keributan.
“Hai Abu Nawas, kamu jangan mengada-ada!” ucap beberapa orang.
“Hai Abu Nawas, kamu jangan bicara ngawur!” sambung yang lain.
Tapi Abu Nawas memang orang yang cerdik, Ia bisa menguasai diri dan dengan cepat berusaha menenangkan keadaan, “Tenang...tenang...tenang, saudara-saudara. Masih ada lagi yang ingin aku katakan. Mohon, jangan dipotong dulu!”
Orang-orang kembali terdiam. Mereka sudah tak sabar mau mendengar kelanjutan pidato Abu Nawas. Tatkala keadaan sudah tenang. Abu Nawas melanjutkan, “Tak hanya itu saudara-saudara! Baginda kita itu, sebenarnya juga sangaaaaat mencintai fitnah.”

Baca: Abu Nawas Pura-pura Gila
 
Keadaan menjadi gaduh kembali. Orang-orang seperti disulut amarah. Semua orang protes, dan tidak sedikit yang ingin naik ke tempat Abu Nawas berdiri. Tapi, Abu Nawas tampak tenang. Tak ada perasaan bersalah sedikit pun.
Saat belum sempat orang-orang naik ke tempat Abu Nawas berdiri, Abu Nawas merasakan tangan-tangan  kekar dan kuat mencengkram tangannya. Tentu saja, Abu Nawas berusaha menepis dan tetap tenang karena ia ingin menjelaskan lebih jauh maksud di balik pidatonya itu. Sayang, Abu Nawas tidak bisa berkutik. Tangan-tangan kekar itu adalah tangan para pengawal baginda raja yang menyeret Abu Nawas turun dari tempat dia berdiri. Akhirnya, Abu Nawas dihadapkan kepada baginda raja untuk dimintai pertanggungjawaban. Dihadapkan baginda raja, Abu Nawas sama sekali tidak dilanda rasa takut. Dia bahkan tampak tenang, tak menyiratkan ketakutan dan tak menunjukkan penyesalan sama sekali. Maka, dengan geram dan marah, baginda raja langsung bertanya pada Abu Nawas, tanpa basa-basi.
“Apa benar kamu telah berpidato dengan lantang dan keras sekali di tengah pasar untuk mengatakan aku ini lebih kaya dari Allah?” tanya baginda raja, sudah tidak sabar.
“Benar, Baginda,“ jawab Abu Nawas. Lagi-lagi, dia tidak merasa takut sedikit pun dan sama sekali tidak gentar. Bahkan dihadapan sang raja, Abu Nawas tidak merasa ia berada di hadapan sang penguasa yang bisa saja sewaktu-waktu dia dijatuhi hukuman berat.
Tentu, jawaban dari Abu Nawas itu membuat baginda raja semakin geram dan marah. “Apa benar kamu juga berpidato di pasar dan mengatakan kepada orang-orang disana bahwa aku ini mencintai fitnah?”
“Maaf,Baginda. Itu benar adanya,” jawab Abu Nawas tenang. Lagi-lagi, ia tidak merasa takut sedikit pun dan sama sekali tidak gentar
“Pengawal!!” perintah Baginda Raja, “Bawa Abu Nawas ke penjara. Besok pagi, gantung dia di alun-alun!”
“tenang dulu, tengan dulu...Baginda. Beri saya kesempatan untuk menjelaskan apa maksud di balik kata-kata saya itu,” pinta Abu Nawas dengan memelas.
“Apa lagi yang ingin kamu katakan, Abu Nawas?”
“Saya tidak asal ngomong dan saya punya alasan kenapa berkata seperti itu!”
“Baiklah, cepat katakan sebelum kamu menemui ajal...”
“Begini, Baginda. Saya mengatakan bahwa Baginda lebih kaya dari Allah karena baginda memiliki anak, sedang Allah tidak memiliki anak. Bukan begitu baginda?”
Baginda tersipu. “Dasar, Abu Nawas! Terus, apa maksud kata-katamu bahwa aku mencintai fitnah?”
“Maksudnya, bahwa Baginda Raja sangat mencintai istri dan anak-anak Baginda sendiri. Padahal mereka itu dapat menjadi fitnah bagi Baginda. Bukan begitu Baginda?”
Baginda hanya geleng-geleng kepala. “Lalu kenapa kamu teriak-teriak sekadar mengatakan hal itu di pasar? Tidakkah kamu tahu, bahwa orang-orang itu bisa marah?”
“Itu memang saya sengaja, Baginda! Karena, kalau orang-orang di pasar marah, nanti saya akan dipanggil Baginda.”
“Kalau aku sudah memanggilmu, memang kenapa?”
“Hmmmm...ya biasa, Baginda! Bukankah setelah Baginda Raja memanggil saya, biasanya Baginda akan memberi saya hadiah?” ujar Abu Nawas lirih.
Baginda tersipu malu lantas memerintahkan pengawal untuk mengambil hadiah berupa uang untuk diberikan kepada Abu Nawas.
(Majalah Hidayah Edisi 87/ November 2008)

Monday, August 5, 2013

Abu Nawas Pura-pura Gila



Sebelum nenemui ajal, ayah Abu Nawas, Maulana, berpesan kepada Abu Nawas agar menjaga telinga. Maka, tatkala ayahnya wafat, Abu Nawas diterpa duka. Beban itu kian berat terasa sebab Baginda justru berencana mengangkat Abu Nawas jadi Kadi (hakim). Maklum, ayah Abu Nawas dahulu adalah Kadi dan Abu Nawas dipandang Baginda layak untuk menggantikan posisi itu.

Rencana raja mengangkat Abu Nawas mendadak membuatnya menjadi gila. Usai upacara pemakaman ayahnya, Abu Nawas mengundang heran sejumlah pelayat. Tak banyak bicara, dia mengambil batang pisang lantas memperlakukannya seperti kuda. Abu Nawas menungganginya seraya berlari-lari dari makam sampai ke rumah. Sontak, orang-orang menganggap Abu Nawas sudah gila akibat ditinggal ayahnya. Dugaan itu kian benar, apalagi pada kesempatan lain, Abu Nawas mengajak anak-anak kecil pergi ke makam ayahnya. Lalu, atas makam ayahnya itu, Abu Nawas mengajak anak-anak bermain rebana dan bersuka cita.
Tetapi, niat Baginda untuk mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi masih kuat. Maka, Baginda meminta para pengawal untuk memanggil Abu Nawas menghadap Baginda raja. Tapi dasar Abu Nawas! Ia bukan menghadap baginda, malah menantangnya. Tak salah, jika pengawal itu lantas melaporkan ulah Abu Nawas dan raja langsung meminta para pengawalnya untuk menyeret paksa Abu Nawas. Setelah dihadapkan di depan Baginda, anehnya Abu Nawas tetap tidak berubah, bahkan terlihat bodoh.
“Abu Nawas, bersikaplah sopan!” tegur Baginda.
“Ya Baginda, tahukah Anda...?”
“Tahu apa...?”
“Terasi itu asalnya dari udang, Baginda!”
“Kurang ajar, kalau itu sudah aku tahu!”
”Tidak...Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?”
Baginda merasa dilecehkan. Ia naik pitam dan segera memberi perintah, “Hajar dia! Pukul sebanyak dua puluh lima kali!”
Abu Nawas yang kurus kering itu pun lemas tak berdaya. Dengan sempoyongan ia pulang. Tapi sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga. “Hai Abu Nawas! Tempo hari sebelum kau masuk kota ini kita telah mengadakan perjajian. Masak kau lupa? Jika kau diberi hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau sat bagian, aku satu bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?” tagih si penjaga.
“Hai..penjaga, apa kau benar-benar menginginkan hadiah itu?”
“Tentu! Bukankah itu sudah merupakan perjanjian kita?”
“Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!”
“Ternyata..., kau baik hati Abu Nawas. Memang seharusnya begitu, lantaran kau sudah sering menerima hadiah dari Baginda.”
Tanpa banyak kata, Abu Nawas langsung mengambil sebatang kayu lalu orang itu dipukulnya sebanyak dua puluh lima kali. Tentu, orang itu menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas sudah gila. Setelah si penjaga gerbang kota itu klenger, Abu Nawas pergi meninggalkannya begitu saja.
Kelakuan Abu Nawas yang semakin tidak waras itu akhirnya membuat Baginda raja mengadakan rapat.”Aku mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi, tapi belakangan ini Abu Nawas semakin aneh! Lalu, apa pendapat kalian?” tanya Baginda.
Wazir atau perdana menteri berkata, “Melihat Abu Nawas yang semakin parah otaknya, sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja!”.
Usul wazir itu pun disetujui oleh menteri-menteri lain.
“Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi Kadi.”
“Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari karena bapaknya baru wafat. Jika tidak sembuh-sembuh, kita mencari Kadi yang lain saja.”
Setelah lewat satu bulan, Abu Nawas tidak berubah. Maka, raja mengangkat orang lain dijadikan Kadi. Tapi saat Abu Nawas mendengar raja mengangkat orang lain sebagai Kadi, bukan dirinya, ia seketika sembuh. Abu Nawas sembuh karena ia berhasil memegang teguh pesan ayahnya sebelum ajal datang. Pada saat ayah Abu Nawas sakit mendekati ajal, sang ayah memanggil Abu Nawas. Abu Nawas datang dan sempat bercengkrama dengan ayahnya. “Anakku, aku sudah hampir meninggal...Kini ciumlah telinga kanan dan telinga kiriku!” pinta ayah Abu Nawas.
Abu Nawas menuruti permintaan terakhir ayahnya. Ia mecium telinga kanan sang ayah, dan ia menghirup bau harum, sedangkan telinga yang sebelah kiri berbau busuk.
“Sudahkah kau menciumnya, wahai anakku?”
“Sudah, ayah! Tapi,...!”
“Tapi, apa? Ceritakan dengan sejujurnya, bau kedua telingaku itu!”
“Sungguh mengherankan, telinga ayah yang sebelah kanan bau harum sekali. Tapi...yang sebelah kirinya baunya sangat busuk!”
“Hai anakku, tahukah kamu...apa sebabnya bisa seperti itu?”
“Wahai ayahku, cobalah ceritakan pada anakmu ini!”
Lalu ayah Abu Nawas bercerita, “Pada suatu hari, datang dua orang mengadu masalah kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suka, maka tak kudengarkan. Inilah resiko jadi Kadi. Jika kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hal yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi Kadi, maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak, Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi.” (Majalah Hidayah Edisi 86/ Oktober 2008)