Home » Posts filed under Humor
Showing posts with label Humor. Show all posts
Showing posts with label Humor. Show all posts
Friday, November 23, 2018
Humor Sufi: Mungkinkah Ayam yang Sudah Dimasak Dapat Bertelur?
Suatu saat, seorang pedagang melakukan perjalanan. Karena
kelelahan, ia memutuskan untuk bermalam di sebuah penginapan. Tak berselang
lama, pelayan hotel menyuguhkan ayam dan dua butir telur serta sepotong roti
untuk santap malam. Keesokan harinya, pedagang itu bermaksud melanjutkan
perjalanannya.
“Soal tagihanku, kita perhitungkan nanti saja setelah aku
kembali,” kata pedagang itu. Tak terasa tiga bulan berlalu. Pedagang itu
kembali bermalam di penginapan itu. Pelayan hotel kembali menyuguhkan ayam dan
dua butir telur seperti sebelumnya. Ketika pedagang itu bangkit dan pergi, ia
menemui pengelola hotel.
“Maaf Pak, sudah lama aku belum mebayar utang. Berapa jumlah
utangku sekarang?” kata pedagang itu membuka percakapan.
“Wah, itu sudah lama sekali. Bayar saja aku dua ratus piesters
(nilai mata uang yang cukup besar waktu itu), lalu kau boleh pergi,” jawab
pemilik hotel.
Pedagang yang tahu betapa harganya uang sebesar itu
menjawab, “Wahai Tuan, apakah engkau sudah gila? Apa maksud permintaanmu dua
ratus piesters sebagai harga dari dua potong ayam dan empat telur?”
“Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa seharusnya sudah
lama kau harus melunasinya. Jika aku terangkan secara rinci, maka akan jelas
permasalahannya. Dan engkau tidak bisa mengelak karena engkau sudah datang
sejak tiga bulan lalu ke penginapan ini.
“Ayam yang engkau makan tiga bulan lalu jika setiap hari
bertelur pasti sudah mengeluarkan telur yang banyak sekali dan jika telur-telur
itu diletakkan dibawahnya agar dierami, maka akan menetas beberapa ekor anak
ayam, dan jika ayam-ayam itu besar pasti akan bertelur lagi.
“Dan jika semua itu dijumlahkan, maka aku akan mempunyai
pasukan ayam dan jumlahnya pasti sudah ribuan piesters saja, dan pasti jumlah
yang aku minta terlalu sedikit dibanding kerugian yang semestinya aku terima,”
kata pengelola hotel.
Perang mulut di antara mereka terus berlanjut, sehingga
pertengkaran ini berakhir di persidangan.
“Apakah engkau tak mampu membayar harga dua ekor ayam dan
telurnya?” Tanya jaksa kepada pedagang.
“Karena harganya terlalu murah, aku berkata kepada
pemilik penginapan untuk membayarnya nanti saja setelah aku kembali,” jawab
sang pedagang.
“Bukankah dua ekor ayam dan empat butir telur dapat
menelurkan ribuan telur lagi?”
Lantas pedagang tersebut mengutarakan beberapa argumen,
namun tidak diterima oleh jaksa. Ketika ia mengetahui bahwa hakim akan
menjatuhkan sangsi kepadanya dengan membayar dua ratus piesters, hatinya mulai
gusar, dan ia minta kepada hakim untuk menunda putusan. Jaksa pun menunda hasil
putusan siding.
Di luar persidangan, pedagang tersebut berdiskusi dengan
teman-temanya mengenai langkah apa yang bisa dilakukan dirinya agar mendapatkan
putusan yang bijak. Beberapa orang menyarankan kepadanya untuk menemui dan
menyampaikan perkaranya kepada Juha.
Akhirnya pedagang tersebut nenemui Juha dan menceritakan
permasalahannya dengan rinci. Pedagang tersebut memberi kuasa kepadanya agar
membelanya dalam persidangan.
Tapi saat hari persidangan tiba, Juha tidak menunjukkan
batang hidungnya. Inilah yang membuat jaksa kesal karena harus menunggu Juha,
dan akhirnya ia mengutus seseorang untuk menjemput Juha.
“Mengapa kamu tidak datang tepat waktu dan membiarkan
kami menunggu terlalu lama? Kamu telah membuat peserta siding menunggu,” kata
jaksa dengan nada marah kepada Juha tatkala Juha menginjakkan kakinya di tempat
persidangan.
“Jangan marah Pak, ketika aku ingin datang ke pengadilan
pada waktunya, teman yang aku minta untuk menanam gandum di ladang akan datang.
Aku menemuinya dan memberikan sebungkus biji gandum yang sudah ditumbuk. Karena
sepengetahuanku para petani menanam biji gandum namun aku tidak mendapat bagian
dari hasil panennya.
“Oleh karena itulah aku menanam gandum yang sudah
ditumbuk dengan harapan dapat menghasilkan panen yang banyak, aku memberikan
dua bungkus biji gandum yang sudah ditumbuk. Itulah sebabnya kenapa aku bisa
terlambat datang ke persidangan ini,” Juha menerangkan.
“Apakah kalian dengar bahwa biji gandum yang sudah
ditumbuk dapat tumbuh kembali?” Tanya jaksa.
“Apakah ayam yang sudah dimasak dapat bertelur? Dan apakah
telur itu dapat menetas lalu bekembang menjadi ayam yang besar? Dan apakah
pantas menghukum pedagang atas dua ayam, dan empat telur yang dimakannya dengan
bayaran sebesar dua ratus piesters?” Juha balik bertanya.
Mendengar penuturan Juha, jaksa tidak bisa
berbuat apa-ap. Terpaksa, jaksa membatalkan putusannya dan melepaskan Juha
serta memerintahkan pemilik penginapan untuk pulang.
Sumber: Hidayah Edisi 81 Mei 2008
Wednesday, November 21, 2018
HUMOR SUFI: Tuan Hakim Yang Bodoh
Pada
suatu tengah malam, seorang pencuri memanjat tembok orang kaya yang terkenal
bakhil dan bodoh. Ketika pencuri itu menginjak ambang jendela, ternyata kayunya
sudah rapuh hingga runtuh. Akibatnya pencuri itu pun terjerembab ke tanah. Kakinya
patah dan tidak dapat berlari. Karena itu, dengan mudah ia diringkus dan
dihadapkan kepada hakim.
Konon,
hakim negeri itu masih ada hubungan family dengan Raja. Otaknya bebal, dan
tadinya tidak punya pekerjaan. Supaya memperoleh penghasilan dan agar ia dapat
dikendalikan, Raja justru mengangkat orang bodoh tersebut menjadi hakim.
Begitulah.
Malam itu, setelah pencuri berada di mukanya, sang hakim pun bertanya, “Tahukah
kamu mengapa dibawa kehadapanku?”.
Pencuri
itu berakal cerdik. Maka dengan berani ia menjawab, “Saya dihadapkan kemari
untuk mengadukan suatu urusan.”
“Urusan
apa?” Tanya hakim.
“Begini.
Saya baru saja memanjat tembok orang kaya itu,” sambil menunjuk kea rah si
hartawan. “Pada waktu menginjak ambang jendela kamarnya, kayunya patah sehingga
saya terjatuh dan luka-luka. Maka saya datang menghadap agar Tuan menghukum
orang kaya itu. Karena gara-gara ketelodorannya memasang kayu yang rapuh, saya
pun mendapat celaka.”
Hakim goblok
itu mengangguk-angguk. “Apa betul, hai hartawan, kayu jendelamu patah?” Orang
kaya itu menyahut, “Betul, Tuan.”
Kata hakim
bila demikian, engkau akan kuhukum tiga tahun penjara. Jika kelak ternyata si
pencuri meninggal dunia, engkau pun akan dihukum mati.”
Hartawan
itu gemetar. Namun, dengan kecerdikannya ia menyanggah, “Seharusnya kesalahan
itu tidak ditimpakan kepada saya, Tuan Hakim. Sebab bukan saya yang bersalah. Tukang
kayu yang memasang jendela itulah yang harus dihukum.”
Hakim goblok
itu bisa juga berpikir. Ia menggumam, “Betul, betul. Yang salah memang tukang
kayunya. Bukan hartawan ini.”
Maka hakim
pun memerintahkan untuk mencari si tukang kayu, sedangkan hartawan tersebut
segera dilepaskan.
Setelah
tukang kayu itu tertangkap dan dibawa ke meja hijau, hakim bertanya, ”Betulkah
kamu yang membuat dan memasang jendela di rumah orang kaya itu?”
Tukang kayu
itu mengangguk sejujurnya. Sebab ia merasa tidak punya kesalahan apa-apa.
Hakim berkata,
“Kalau begitu, kamu akan dihukum tiga tahun. Sebab, akibat kelalaianmu menyebabkan
seorang pencuri terjatuh dan luka-luka. Kalau pencuri itu meninggal dunia,
engkau pun akan dihukum mati.”
Untung tukng
kayu cepat tanggap. Ia cepat membantah, “Maaf, Tuan Hakimyang terhormat. Saya mengaku
membuat jendela itu kurang kuat. Tetapi, yang salah bukan saya.”
“Siapa?”
Tanya hakim.
“Seorang
gadis berbaju mera.”
“Alasanmu?”
“Begini,
Tuan, “jawab tukang kayu. “Waktu saya sedang mengerjakan jendela, lewatlah
gadis berbaju merah itu dengan lenggangnya yang menawan. Saya terpesona oleh
baju merahnya yang serasi, jadi mata saya tertuju terus kepadanya.”
“Wah,
kurang ajar gadis berbaju merah itu, “sambut Tuan Hakim. “Pengawal! Cari dan
seret gadis berbaju merah itu kemari.”
“Dengan
paksa akhirnya gadis berbaju merah itu di bawa menghadap hakim setelah
digerebek di pasar. Ia langsung ditanya oleh hakim. “Apa benar kata tukang
kayu? Pada waktu ia sedang membuat jendela, kamu berjalan di muka rumahnya
dengan memakai baju mera?”
“Gadis
itu mengangguk polos. Dan anggukan itu mengundang malapetaka. Sebab ia pun
diancam akan dihukum. Maka dengan keras ia berkilah, “Kalau soal baju merah,
sudah tentu yang salah bukan saya.”
“Jadi,
siapa?” Tanya hakim menghardik.
“Tukang
celup baju. Mengapa ia mencelup baju saya berwarna merah?”
“Hem,
alasanmu masuk akal. Memang tukang celup itu yang harus dijatuhi hukuman
setimpal,” ujar hakim.
Secara tangkas
para punggawa yang diperintahkan menangkap tukang celup dapat menemukan
rumahnya. Karena ia tidak bisa berdalih, akhirnya hukuman tiga tahun dijatuhkan
kepadanya. Malang pula nasibnya. Beberapa minggu kemudian, si pencuri sakit dan
meninggal dunia. Sesuai dengan keputusan semula, si tukang celup yang kebetulan
bertubuh amat jngkung itu dikeluarkan dari selnya dan dibawa menuju tiang
gantungan untuk dihukum mati.
Baca: Abu Nawas Membuat Onar di Tengah Pasar
Baca: Abu Nawas Membuat Onar di Tengah Pasar
Sesudah
jerat terpasang di leher tukang celup itu, ternyata tiang gantungannya terlalu pendek
dibandingkan dengan tinggi badan si tukang celup yang amat jangkung tersebut. Maka
selama dua jam tukang celup itu tidak mati-mati.
Algojo pun
kebingungan. Ia mendatangi tuan hakim dan mengadu, “Maaf, Tuan. Sudah dua jam
tukang celup itu belum mati.”
“Sebabnya?”
Tanya hakim keheranan.
“Orangnya
terlalu jangkung sedangkan tiang gantungannya sangat pendek.”
“Bodoh
kamu,” damprat hakim. “Begitu saja tidak bisa diatasi.”
“Bagaimana,
Tuan?” Tanya algojo.
“Jika
dia terlalu tinggi, cari lah tukang celup lain yang pendek. Gantunglah tukang
celup yang pendek itu.”
Hari itu
juga tukang celup yang jangkung dibebaskan, sedangkan seorang tukang celup
berbadan kerdil ditangkap lalu dijatuhi hukuman gantung. Ia tidak ada kaitan
apa-apa dengan perkara itu.
Kesalahannya
Cuma satu: Kebetulan tubuhnya pendek dan hakim negeri itu orang paling bodoh
yang pernah memegang wewenang hukum. Untunglah kejadian semacam itu tidak
terulang lagi. Sebab, sesudah Raja yang lama meninggal dunia, Raja yang baru
adalah seorang pemimpin Negara yang bijak dan adil.
(Hidayah Edisi 43 Tahun
2005)
Monday, August 12, 2013
Abu Nawas Membuat Onar di Tengah Pasar
Suatu hari Abu Nawas
berjalan tergesa-gesa ke pasar. Tetapi tujuan Abu Nawas kali ini bukan untuk
transaksi jual beli, melainkan hendak berbuat onar. Setelah tiba di pasar. Abu Nawas
kemudian menaiki sebuah tempat yang tinggi itu. Di atas tempat yang tinggi itu,
dia lantas berpidato, “Saudara-saudaraku sekalian! Ada yang perlu
saudara-saudara ketahui tentang Raja kita yang tercinta, baginda Harun Al Rasyid.”
Orang-orang diam,
terhipnotis pidato Abu Nawas. Semua pandangan tertuju ke arah Abu Nawas
berdiri, bahkan semua orang tidak sabar menunggu kalnjutan pidato Abu Nawas
karena dilanda penasaran.
Tetapi Abu Nawas sempat
diam beberapa saat. Ketika semua pandangan mata tertuju padanya, Abu Nawas jadi
semakin percaya diri. Maka, dia melanjutkan pidatonya kembali, “Kalian semua
harus tahu bahwa sebenarnya Baginda Harun Al Rasyid itu lebih kaya dari Allah!”
Seketika itu, orang-orang
tercengang dan nyaris tidak percaya. Maka, suasana menjadi gaduh dan ramai,
bahkan nyaris terjadi keributan.
“Hai Abu Nawas, kamu
jangan mengada-ada!” ucap beberapa orang.
“Hai Abu Nawas, kamu
jangan bicara ngawur!” sambung yang lain.
Tapi Abu Nawas memang
orang yang cerdik, Ia bisa menguasai diri dan dengan cepat berusaha menenangkan
keadaan, “Tenang...tenang...tenang, saudara-saudara. Masih ada lagi yang ingin
aku katakan. Mohon, jangan dipotong dulu!”
Orang-orang kembali
terdiam. Mereka sudah tak sabar mau mendengar kelanjutan pidato Abu Nawas. Tatkala
keadaan sudah tenang. Abu Nawas melanjutkan, “Tak hanya itu saudara-saudara!
Baginda kita itu, sebenarnya juga sangaaaaat mencintai fitnah.”
Baca: Abu Nawas Pura-pura Gila
Baca: Abu Nawas Pura-pura Gila
Keadaan menjadi gaduh
kembali. Orang-orang seperti disulut amarah. Semua orang protes, dan tidak
sedikit yang ingin naik ke tempat Abu Nawas berdiri. Tapi, Abu Nawas tampak
tenang. Tak ada perasaan bersalah sedikit pun.
Saat belum sempat
orang-orang naik ke tempat Abu Nawas berdiri, Abu Nawas merasakan
tangan-tangan kekar dan kuat mencengkram
tangannya. Tentu saja, Abu Nawas berusaha menepis dan tetap tenang karena ia
ingin menjelaskan lebih jauh maksud di balik pidatonya itu. Sayang, Abu Nawas
tidak bisa berkutik. Tangan-tangan kekar itu adalah tangan para pengawal
baginda raja yang menyeret Abu Nawas turun dari tempat dia berdiri. Akhirnya,
Abu Nawas dihadapkan kepada baginda raja untuk dimintai pertanggungjawaban. Dihadapkan
baginda raja, Abu Nawas sama sekali tidak dilanda rasa takut. Dia bahkan tampak
tenang, tak menyiratkan ketakutan dan tak menunjukkan penyesalan sama sekali. Maka,
dengan geram dan marah, baginda raja langsung bertanya pada Abu Nawas, tanpa
basa-basi.
“Apa benar kamu telah
berpidato dengan lantang dan keras sekali di tengah pasar untuk mengatakan aku
ini lebih kaya dari Allah?” tanya baginda raja, sudah tidak sabar.
“Benar, Baginda,“ jawab
Abu Nawas. Lagi-lagi, dia tidak merasa takut sedikit pun dan sama sekali tidak
gentar. Bahkan dihadapan sang raja, Abu Nawas tidak merasa ia berada di hadapan
sang penguasa yang bisa saja sewaktu-waktu dia dijatuhi hukuman berat.
Tentu, jawaban dari Abu
Nawas itu membuat baginda raja semakin geram dan marah. “Apa benar kamu juga
berpidato di pasar dan mengatakan kepada orang-orang disana bahwa aku ini
mencintai fitnah?”
“Maaf,Baginda. Itu benar
adanya,” jawab Abu Nawas tenang. Lagi-lagi, ia tidak merasa takut sedikit pun
dan sama sekali tidak gentar
“Pengawal!!” perintah
Baginda Raja, “Bawa Abu Nawas ke penjara. Besok pagi, gantung dia di alun-alun!”
“tenang dulu, tengan
dulu...Baginda. Beri saya kesempatan untuk menjelaskan apa maksud di balik
kata-kata saya itu,” pinta Abu Nawas dengan memelas.
“Apa lagi yang ingin kamu
katakan, Abu Nawas?”
“Saya tidak asal ngomong
dan saya punya alasan kenapa berkata seperti itu!”
“Baiklah, cepat katakan
sebelum kamu menemui ajal...”
“Begini, Baginda. Saya mengatakan
bahwa Baginda lebih kaya dari Allah karena baginda memiliki anak, sedang Allah
tidak memiliki anak. Bukan begitu baginda?”
Baginda tersipu. “Dasar,
Abu Nawas! Terus, apa maksud kata-katamu bahwa aku mencintai fitnah?”
“Maksudnya, bahwa Baginda
Raja sangat mencintai istri dan anak-anak Baginda sendiri. Padahal mereka itu
dapat menjadi fitnah bagi Baginda. Bukan begitu Baginda?”
Baginda hanya
geleng-geleng kepala. “Lalu kenapa kamu teriak-teriak sekadar mengatakan hal
itu di pasar? Tidakkah kamu tahu, bahwa orang-orang itu bisa marah?”
“Itu memang saya sengaja,
Baginda! Karena, kalau orang-orang di pasar marah, nanti saya akan dipanggil
Baginda.”
“Kalau aku sudah memanggilmu,
memang kenapa?”
“Hmmmm...ya biasa,
Baginda! Bukankah setelah Baginda Raja memanggil saya, biasanya Baginda akan
memberi saya hadiah?” ujar Abu Nawas lirih.
Baginda tersipu malu
lantas memerintahkan pengawal untuk mengambil hadiah berupa uang untuk
diberikan kepada Abu Nawas.
(Majalah Hidayah Edisi
87/ November 2008)
Monday, August 5, 2013
Abu Nawas Pura-pura Gila
Sebelum nenemui ajal,
ayah Abu Nawas, Maulana, berpesan kepada Abu Nawas agar menjaga telinga. Maka, tatkala
ayahnya wafat, Abu Nawas diterpa duka. Beban itu kian berat terasa sebab
Baginda justru berencana mengangkat Abu Nawas jadi Kadi (hakim). Maklum, ayah
Abu Nawas dahulu adalah Kadi dan Abu Nawas dipandang Baginda layak untuk menggantikan
posisi itu.
Rencana raja mengangkat
Abu Nawas mendadak membuatnya menjadi gila. Usai upacara pemakaman ayahnya, Abu
Nawas mengundang heran sejumlah pelayat. Tak banyak bicara, dia mengambil
batang pisang lantas memperlakukannya seperti kuda. Abu Nawas menungganginya
seraya berlari-lari dari makam sampai ke rumah. Sontak, orang-orang menganggap
Abu Nawas sudah gila akibat ditinggal ayahnya. Dugaan itu kian benar, apalagi
pada kesempatan lain, Abu Nawas mengajak anak-anak kecil pergi ke makam
ayahnya. Lalu, atas makam ayahnya itu, Abu Nawas mengajak anak-anak bermain
rebana dan bersuka cita.
Tetapi, niat Baginda
untuk mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi masih kuat. Maka, Baginda meminta para
pengawal untuk memanggil Abu Nawas menghadap Baginda raja. Tapi dasar Abu
Nawas! Ia bukan menghadap baginda, malah menantangnya. Tak salah, jika pengawal
itu lantas melaporkan ulah Abu Nawas dan raja langsung meminta para pengawalnya
untuk menyeret paksa Abu Nawas. Setelah dihadapkan di depan Baginda, anehnya
Abu Nawas tetap tidak berubah, bahkan terlihat bodoh.
“Abu Nawas, bersikaplah
sopan!” tegur Baginda.
“Ya Baginda, tahukah
Anda...?”
“Tahu apa...?”
“Terasi itu asalnya dari
udang, Baginda!”
“Kurang ajar, kalau itu
sudah aku tahu!”
”Tidak...Baginda! Siapa
bilang udang berasal dari terasi?”
Baginda merasa
dilecehkan. Ia naik pitam dan segera memberi perintah, “Hajar dia! Pukul sebanyak
dua puluh lima kali!”
Abu Nawas yang kurus
kering itu pun lemas tak berdaya. Dengan sempoyongan ia pulang. Tapi sampai di
pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga. “Hai Abu Nawas! Tempo hari sebelum
kau masuk kota ini kita telah mengadakan perjajian. Masak kau lupa? Jika kau
diberi hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau sat
bagian, aku satu bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?” tagih si penjaga.
“Hai..penjaga, apa kau
benar-benar menginginkan hadiah itu?”
“Tentu! Bukankah itu
sudah merupakan perjanjian kita?”
“Baik, aku berikan
semuanya, bukan hanya satu bagian!”
“Ternyata..., kau baik
hati Abu Nawas. Memang seharusnya begitu, lantaran kau sudah sering menerima
hadiah dari Baginda.”
Tanpa banyak kata, Abu
Nawas langsung mengambil sebatang kayu lalu orang itu dipukulnya sebanyak dua
puluh lima kali. Tentu, orang itu menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu
Nawas sudah gila. Setelah si penjaga gerbang kota itu klenger, Abu Nawas pergi
meninggalkannya begitu saja.
Kelakuan Abu Nawas yang
semakin tidak waras itu akhirnya membuat Baginda raja mengadakan rapat.”Aku
mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi, tapi belakangan ini Abu Nawas semakin aneh! Lalu,
apa pendapat kalian?” tanya Baginda.
Wazir atau perdana menteri
berkata, “Melihat Abu Nawas yang semakin parah otaknya, sebaiknya Tuanku
mengangkat orang lain saja!”.
Usul wazir itu pun
disetujui oleh menteri-menteri lain.
“Tuanku, Abu Nawas telah
menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi Kadi.”
“Baiklah, kita tunggu dulu
sampai dua puluh satu hari karena bapaknya baru wafat. Jika tidak
sembuh-sembuh, kita mencari Kadi yang lain saja.”
Setelah lewat satu bulan,
Abu Nawas tidak berubah. Maka, raja mengangkat orang lain dijadikan Kadi. Tapi saat
Abu Nawas mendengar raja mengangkat orang lain sebagai Kadi, bukan dirinya, ia
seketika sembuh. Abu Nawas sembuh karena ia berhasil memegang teguh pesan
ayahnya sebelum ajal datang. Pada saat ayah Abu Nawas sakit mendekati ajal,
sang ayah memanggil Abu Nawas. Abu Nawas datang dan sempat bercengkrama dengan
ayahnya. “Anakku, aku sudah hampir meninggal...Kini ciumlah telinga kanan dan
telinga kiriku!” pinta ayah Abu Nawas.
Abu Nawas menuruti
permintaan terakhir ayahnya. Ia mecium telinga kanan sang ayah, dan ia
menghirup bau harum, sedangkan telinga yang sebelah kiri berbau busuk.
“Sudahkah kau menciumnya,
wahai anakku?”
“Sudah, ayah! Tapi,...!”
“Tapi, apa? Ceritakan dengan
sejujurnya, bau kedua telingaku itu!”
“Sungguh mengherankan,
telinga ayah yang sebelah kanan bau harum sekali. Tapi...yang sebelah kirinya
baunya sangat busuk!”
“Hai anakku, tahukah
kamu...apa sebabnya bisa seperti itu?”
“Wahai ayahku, cobalah
ceritakan pada anakmu ini!”
Lalu ayah Abu Nawas
bercerita, “Pada suatu hari, datang dua orang mengadu masalah kepadaku. Yang seorang
aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suka, maka tak
kudengarkan. Inilah resiko jadi Kadi. Jika kelak kau suka menjadi Kadi maka kau
akan mengalami hal yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi Kadi, maka
buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi oleh Sultan
Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak, Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap
memilihmu sebagai Kadi.” (Majalah Hidayah Edisi 86/ Oktober 2008)