Sebelum nenemui ajal,
ayah Abu Nawas, Maulana, berpesan kepada Abu Nawas agar menjaga telinga. Maka, tatkala
ayahnya wafat, Abu Nawas diterpa duka. Beban itu kian berat terasa sebab
Baginda justru berencana mengangkat Abu Nawas jadi Kadi (hakim). Maklum, ayah
Abu Nawas dahulu adalah Kadi dan Abu Nawas dipandang Baginda layak untuk menggantikan
posisi itu.
Rencana raja mengangkat
Abu Nawas mendadak membuatnya menjadi gila. Usai upacara pemakaman ayahnya, Abu
Nawas mengundang heran sejumlah pelayat. Tak banyak bicara, dia mengambil
batang pisang lantas memperlakukannya seperti kuda. Abu Nawas menungganginya
seraya berlari-lari dari makam sampai ke rumah. Sontak, orang-orang menganggap
Abu Nawas sudah gila akibat ditinggal ayahnya. Dugaan itu kian benar, apalagi
pada kesempatan lain, Abu Nawas mengajak anak-anak kecil pergi ke makam
ayahnya. Lalu, atas makam ayahnya itu, Abu Nawas mengajak anak-anak bermain
rebana dan bersuka cita.
Tetapi, niat Baginda
untuk mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi masih kuat. Maka, Baginda meminta para
pengawal untuk memanggil Abu Nawas menghadap Baginda raja. Tapi dasar Abu
Nawas! Ia bukan menghadap baginda, malah menantangnya. Tak salah, jika pengawal
itu lantas melaporkan ulah Abu Nawas dan raja langsung meminta para pengawalnya
untuk menyeret paksa Abu Nawas. Setelah dihadapkan di depan Baginda, anehnya
Abu Nawas tetap tidak berubah, bahkan terlihat bodoh.
“Abu Nawas, bersikaplah
sopan!” tegur Baginda.
“Ya Baginda, tahukah
Anda...?”
“Tahu apa...?”
“Terasi itu asalnya dari
udang, Baginda!”
“Kurang ajar, kalau itu
sudah aku tahu!”
”Tidak...Baginda! Siapa
bilang udang berasal dari terasi?”
Baginda merasa
dilecehkan. Ia naik pitam dan segera memberi perintah, “Hajar dia! Pukul sebanyak
dua puluh lima kali!”
Abu Nawas yang kurus
kering itu pun lemas tak berdaya. Dengan sempoyongan ia pulang. Tapi sampai di
pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga. “Hai Abu Nawas! Tempo hari sebelum
kau masuk kota ini kita telah mengadakan perjajian. Masak kau lupa? Jika kau
diberi hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau sat
bagian, aku satu bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?” tagih si penjaga.
“Hai..penjaga, apa kau
benar-benar menginginkan hadiah itu?”
“Tentu! Bukankah itu
sudah merupakan perjanjian kita?”
“Baik, aku berikan
semuanya, bukan hanya satu bagian!”
“Ternyata..., kau baik
hati Abu Nawas. Memang seharusnya begitu, lantaran kau sudah sering menerima
hadiah dari Baginda.”
Tanpa banyak kata, Abu
Nawas langsung mengambil sebatang kayu lalu orang itu dipukulnya sebanyak dua
puluh lima kali. Tentu, orang itu menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu
Nawas sudah gila. Setelah si penjaga gerbang kota itu klenger, Abu Nawas pergi
meninggalkannya begitu saja.
Kelakuan Abu Nawas yang
semakin tidak waras itu akhirnya membuat Baginda raja mengadakan rapat.”Aku
mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi, tapi belakangan ini Abu Nawas semakin aneh! Lalu,
apa pendapat kalian?” tanya Baginda.
Wazir atau perdana menteri
berkata, “Melihat Abu Nawas yang semakin parah otaknya, sebaiknya Tuanku
mengangkat orang lain saja!”.
Usul wazir itu pun
disetujui oleh menteri-menteri lain.
“Tuanku, Abu Nawas telah
menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi Kadi.”
“Baiklah, kita tunggu dulu
sampai dua puluh satu hari karena bapaknya baru wafat. Jika tidak
sembuh-sembuh, kita mencari Kadi yang lain saja.”
Setelah lewat satu bulan,
Abu Nawas tidak berubah. Maka, raja mengangkat orang lain dijadikan Kadi. Tapi saat
Abu Nawas mendengar raja mengangkat orang lain sebagai Kadi, bukan dirinya, ia
seketika sembuh. Abu Nawas sembuh karena ia berhasil memegang teguh pesan
ayahnya sebelum ajal datang. Pada saat ayah Abu Nawas sakit mendekati ajal,
sang ayah memanggil Abu Nawas. Abu Nawas datang dan sempat bercengkrama dengan
ayahnya. “Anakku, aku sudah hampir meninggal...Kini ciumlah telinga kanan dan
telinga kiriku!” pinta ayah Abu Nawas.
Abu Nawas menuruti
permintaan terakhir ayahnya. Ia mecium telinga kanan sang ayah, dan ia
menghirup bau harum, sedangkan telinga yang sebelah kiri berbau busuk.
“Sudahkah kau menciumnya,
wahai anakku?”
“Sudah, ayah! Tapi,...!”
“Tapi, apa? Ceritakan dengan
sejujurnya, bau kedua telingaku itu!”
“Sungguh mengherankan,
telinga ayah yang sebelah kanan bau harum sekali. Tapi...yang sebelah kirinya
baunya sangat busuk!”
“Hai anakku, tahukah
kamu...apa sebabnya bisa seperti itu?”
“Wahai ayahku, cobalah
ceritakan pada anakmu ini!”
Lalu ayah Abu Nawas
bercerita, “Pada suatu hari, datang dua orang mengadu masalah kepadaku. Yang seorang
aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suka, maka tak
kudengarkan. Inilah resiko jadi Kadi. Jika kelak kau suka menjadi Kadi maka kau
akan mengalami hal yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi Kadi, maka
buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi oleh Sultan
Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak, Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap
memilihmu sebagai Kadi.” (Majalah Hidayah Edisi 86/ Oktober 2008)
0 komentar:
Post a Comment