Suatu hari Abu Nawas
berjalan tergesa-gesa ke pasar. Tetapi tujuan Abu Nawas kali ini bukan untuk
transaksi jual beli, melainkan hendak berbuat onar. Setelah tiba di pasar. Abu Nawas
kemudian menaiki sebuah tempat yang tinggi itu. Di atas tempat yang tinggi itu,
dia lantas berpidato, “Saudara-saudaraku sekalian! Ada yang perlu
saudara-saudara ketahui tentang Raja kita yang tercinta, baginda Harun Al Rasyid.”
Orang-orang diam,
terhipnotis pidato Abu Nawas. Semua pandangan tertuju ke arah Abu Nawas
berdiri, bahkan semua orang tidak sabar menunggu kalnjutan pidato Abu Nawas
karena dilanda penasaran.
Tetapi Abu Nawas sempat
diam beberapa saat. Ketika semua pandangan mata tertuju padanya, Abu Nawas jadi
semakin percaya diri. Maka, dia melanjutkan pidatonya kembali, “Kalian semua
harus tahu bahwa sebenarnya Baginda Harun Al Rasyid itu lebih kaya dari Allah!”
Seketika itu, orang-orang
tercengang dan nyaris tidak percaya. Maka, suasana menjadi gaduh dan ramai,
bahkan nyaris terjadi keributan.
“Hai Abu Nawas, kamu
jangan mengada-ada!” ucap beberapa orang.
“Hai Abu Nawas, kamu
jangan bicara ngawur!” sambung yang lain.
Tapi Abu Nawas memang
orang yang cerdik, Ia bisa menguasai diri dan dengan cepat berusaha menenangkan
keadaan, “Tenang...tenang...tenang, saudara-saudara. Masih ada lagi yang ingin
aku katakan. Mohon, jangan dipotong dulu!”
Orang-orang kembali
terdiam. Mereka sudah tak sabar mau mendengar kelanjutan pidato Abu Nawas. Tatkala
keadaan sudah tenang. Abu Nawas melanjutkan, “Tak hanya itu saudara-saudara!
Baginda kita itu, sebenarnya juga sangaaaaat mencintai fitnah.”
Baca: Abu Nawas Pura-pura Gila
Baca: Abu Nawas Pura-pura Gila
Keadaan menjadi gaduh
kembali. Orang-orang seperti disulut amarah. Semua orang protes, dan tidak
sedikit yang ingin naik ke tempat Abu Nawas berdiri. Tapi, Abu Nawas tampak
tenang. Tak ada perasaan bersalah sedikit pun.
Saat belum sempat
orang-orang naik ke tempat Abu Nawas berdiri, Abu Nawas merasakan
tangan-tangan kekar dan kuat mencengkram
tangannya. Tentu saja, Abu Nawas berusaha menepis dan tetap tenang karena ia
ingin menjelaskan lebih jauh maksud di balik pidatonya itu. Sayang, Abu Nawas
tidak bisa berkutik. Tangan-tangan kekar itu adalah tangan para pengawal
baginda raja yang menyeret Abu Nawas turun dari tempat dia berdiri. Akhirnya,
Abu Nawas dihadapkan kepada baginda raja untuk dimintai pertanggungjawaban. Dihadapkan
baginda raja, Abu Nawas sama sekali tidak dilanda rasa takut. Dia bahkan tampak
tenang, tak menyiratkan ketakutan dan tak menunjukkan penyesalan sama sekali. Maka,
dengan geram dan marah, baginda raja langsung bertanya pada Abu Nawas, tanpa
basa-basi.
“Apa benar kamu telah
berpidato dengan lantang dan keras sekali di tengah pasar untuk mengatakan aku
ini lebih kaya dari Allah?” tanya baginda raja, sudah tidak sabar.
“Benar, Baginda,“ jawab
Abu Nawas. Lagi-lagi, dia tidak merasa takut sedikit pun dan sama sekali tidak
gentar. Bahkan dihadapan sang raja, Abu Nawas tidak merasa ia berada di hadapan
sang penguasa yang bisa saja sewaktu-waktu dia dijatuhi hukuman berat.
Tentu, jawaban dari Abu
Nawas itu membuat baginda raja semakin geram dan marah. “Apa benar kamu juga
berpidato di pasar dan mengatakan kepada orang-orang disana bahwa aku ini
mencintai fitnah?”
“Maaf,Baginda. Itu benar
adanya,” jawab Abu Nawas tenang. Lagi-lagi, ia tidak merasa takut sedikit pun
dan sama sekali tidak gentar
“Pengawal!!” perintah
Baginda Raja, “Bawa Abu Nawas ke penjara. Besok pagi, gantung dia di alun-alun!”
“tenang dulu, tengan
dulu...Baginda. Beri saya kesempatan untuk menjelaskan apa maksud di balik
kata-kata saya itu,” pinta Abu Nawas dengan memelas.
“Apa lagi yang ingin kamu
katakan, Abu Nawas?”
“Saya tidak asal ngomong
dan saya punya alasan kenapa berkata seperti itu!”
“Baiklah, cepat katakan
sebelum kamu menemui ajal...”
“Begini, Baginda. Saya mengatakan
bahwa Baginda lebih kaya dari Allah karena baginda memiliki anak, sedang Allah
tidak memiliki anak. Bukan begitu baginda?”
Baginda tersipu. “Dasar,
Abu Nawas! Terus, apa maksud kata-katamu bahwa aku mencintai fitnah?”
“Maksudnya, bahwa Baginda
Raja sangat mencintai istri dan anak-anak Baginda sendiri. Padahal mereka itu
dapat menjadi fitnah bagi Baginda. Bukan begitu Baginda?”
Baginda hanya
geleng-geleng kepala. “Lalu kenapa kamu teriak-teriak sekadar mengatakan hal
itu di pasar? Tidakkah kamu tahu, bahwa orang-orang itu bisa marah?”
“Itu memang saya sengaja,
Baginda! Karena, kalau orang-orang di pasar marah, nanti saya akan dipanggil
Baginda.”
“Kalau aku sudah memanggilmu,
memang kenapa?”
“Hmmmm...ya biasa,
Baginda! Bukankah setelah Baginda Raja memanggil saya, biasanya Baginda akan
memberi saya hadiah?” ujar Abu Nawas lirih.
Baginda tersipu malu
lantas memerintahkan pengawal untuk mengambil hadiah berupa uang untuk
diberikan kepada Abu Nawas.
(Majalah Hidayah Edisi
87/ November 2008)
0 komentar:
Post a Comment