Pada
suatu tengah malam, seorang pencuri memanjat tembok orang kaya yang terkenal
bakhil dan bodoh. Ketika pencuri itu menginjak ambang jendela, ternyata kayunya
sudah rapuh hingga runtuh. Akibatnya pencuri itu pun terjerembab ke tanah. Kakinya
patah dan tidak dapat berlari. Karena itu, dengan mudah ia diringkus dan
dihadapkan kepada hakim.
Konon,
hakim negeri itu masih ada hubungan family dengan Raja. Otaknya bebal, dan
tadinya tidak punya pekerjaan. Supaya memperoleh penghasilan dan agar ia dapat
dikendalikan, Raja justru mengangkat orang bodoh tersebut menjadi hakim.
Begitulah.
Malam itu, setelah pencuri berada di mukanya, sang hakim pun bertanya, “Tahukah
kamu mengapa dibawa kehadapanku?”.
Pencuri
itu berakal cerdik. Maka dengan berani ia menjawab, “Saya dihadapkan kemari
untuk mengadukan suatu urusan.”
“Urusan
apa?” Tanya hakim.
“Begini.
Saya baru saja memanjat tembok orang kaya itu,” sambil menunjuk kea rah si
hartawan. “Pada waktu menginjak ambang jendela kamarnya, kayunya patah sehingga
saya terjatuh dan luka-luka. Maka saya datang menghadap agar Tuan menghukum
orang kaya itu. Karena gara-gara ketelodorannya memasang kayu yang rapuh, saya
pun mendapat celaka.”
Hakim goblok
itu mengangguk-angguk. “Apa betul, hai hartawan, kayu jendelamu patah?” Orang
kaya itu menyahut, “Betul, Tuan.”
Kata hakim
bila demikian, engkau akan kuhukum tiga tahun penjara. Jika kelak ternyata si
pencuri meninggal dunia, engkau pun akan dihukum mati.”
Hartawan
itu gemetar. Namun, dengan kecerdikannya ia menyanggah, “Seharusnya kesalahan
itu tidak ditimpakan kepada saya, Tuan Hakim. Sebab bukan saya yang bersalah. Tukang
kayu yang memasang jendela itulah yang harus dihukum.”
Hakim goblok
itu bisa juga berpikir. Ia menggumam, “Betul, betul. Yang salah memang tukang
kayunya. Bukan hartawan ini.”
Maka hakim
pun memerintahkan untuk mencari si tukang kayu, sedangkan hartawan tersebut
segera dilepaskan.
Setelah
tukang kayu itu tertangkap dan dibawa ke meja hijau, hakim bertanya, ”Betulkah
kamu yang membuat dan memasang jendela di rumah orang kaya itu?”
Tukang kayu
itu mengangguk sejujurnya. Sebab ia merasa tidak punya kesalahan apa-apa.
Hakim berkata,
“Kalau begitu, kamu akan dihukum tiga tahun. Sebab, akibat kelalaianmu menyebabkan
seorang pencuri terjatuh dan luka-luka. Kalau pencuri itu meninggal dunia,
engkau pun akan dihukum mati.”
Untung tukng
kayu cepat tanggap. Ia cepat membantah, “Maaf, Tuan Hakimyang terhormat. Saya mengaku
membuat jendela itu kurang kuat. Tetapi, yang salah bukan saya.”
“Siapa?”
Tanya hakim.
“Seorang
gadis berbaju mera.”
“Alasanmu?”
“Begini,
Tuan, “jawab tukang kayu. “Waktu saya sedang mengerjakan jendela, lewatlah
gadis berbaju merah itu dengan lenggangnya yang menawan. Saya terpesona oleh
baju merahnya yang serasi, jadi mata saya tertuju terus kepadanya.”
“Wah,
kurang ajar gadis berbaju merah itu, “sambut Tuan Hakim. “Pengawal! Cari dan
seret gadis berbaju merah itu kemari.”
“Dengan
paksa akhirnya gadis berbaju merah itu di bawa menghadap hakim setelah
digerebek di pasar. Ia langsung ditanya oleh hakim. “Apa benar kata tukang
kayu? Pada waktu ia sedang membuat jendela, kamu berjalan di muka rumahnya
dengan memakai baju mera?”
“Gadis
itu mengangguk polos. Dan anggukan itu mengundang malapetaka. Sebab ia pun
diancam akan dihukum. Maka dengan keras ia berkilah, “Kalau soal baju merah,
sudah tentu yang salah bukan saya.”
“Jadi,
siapa?” Tanya hakim menghardik.
“Tukang
celup baju. Mengapa ia mencelup baju saya berwarna merah?”
“Hem,
alasanmu masuk akal. Memang tukang celup itu yang harus dijatuhi hukuman
setimpal,” ujar hakim.
Secara tangkas
para punggawa yang diperintahkan menangkap tukang celup dapat menemukan
rumahnya. Karena ia tidak bisa berdalih, akhirnya hukuman tiga tahun dijatuhkan
kepadanya. Malang pula nasibnya. Beberapa minggu kemudian, si pencuri sakit dan
meninggal dunia. Sesuai dengan keputusan semula, si tukang celup yang kebetulan
bertubuh amat jngkung itu dikeluarkan dari selnya dan dibawa menuju tiang
gantungan untuk dihukum mati.
Baca: Abu Nawas Membuat Onar di Tengah Pasar
Baca: Abu Nawas Membuat Onar di Tengah Pasar
Sesudah
jerat terpasang di leher tukang celup itu, ternyata tiang gantungannya terlalu pendek
dibandingkan dengan tinggi badan si tukang celup yang amat jangkung tersebut. Maka
selama dua jam tukang celup itu tidak mati-mati.
Algojo pun
kebingungan. Ia mendatangi tuan hakim dan mengadu, “Maaf, Tuan. Sudah dua jam
tukang celup itu belum mati.”
“Sebabnya?”
Tanya hakim keheranan.
“Orangnya
terlalu jangkung sedangkan tiang gantungannya sangat pendek.”
“Bodoh
kamu,” damprat hakim. “Begitu saja tidak bisa diatasi.”
“Bagaimana,
Tuan?” Tanya algojo.
“Jika
dia terlalu tinggi, cari lah tukang celup lain yang pendek. Gantunglah tukang
celup yang pendek itu.”
Hari itu
juga tukang celup yang jangkung dibebaskan, sedangkan seorang tukang celup
berbadan kerdil ditangkap lalu dijatuhi hukuman gantung. Ia tidak ada kaitan
apa-apa dengan perkara itu.
Kesalahannya
Cuma satu: Kebetulan tubuhnya pendek dan hakim negeri itu orang paling bodoh
yang pernah memegang wewenang hukum. Untunglah kejadian semacam itu tidak
terulang lagi. Sebab, sesudah Raja yang lama meninggal dunia, Raja yang baru
adalah seorang pemimpin Negara yang bijak dan adil.
(Hidayah Edisi 43 Tahun
2005)
0 komentar:
Post a Comment