Tes Paragraf

Wednesday, November 21, 2018

HUMOR SUFI: Tuan Hakim Yang Bodoh


Pada suatu tengah malam, seorang pencuri memanjat tembok orang kaya yang terkenal bakhil dan bodoh. Ketika pencuri itu menginjak ambang jendela, ternyata kayunya sudah rapuh hingga runtuh. Akibatnya pencuri itu pun terjerembab ke tanah. Kakinya patah dan tidak dapat berlari. Karena itu, dengan mudah ia diringkus dan dihadapkan kepada hakim.

Konon, hakim negeri itu masih ada hubungan family dengan Raja. Otaknya bebal, dan tadinya tidak punya pekerjaan. Supaya memperoleh penghasilan dan agar ia dapat dikendalikan, Raja justru mengangkat orang bodoh tersebut menjadi hakim.

Begitulah. Malam itu, setelah pencuri berada di mukanya, sang hakim pun bertanya, “Tahukah kamu mengapa dibawa kehadapanku?”.

Pencuri itu berakal cerdik. Maka dengan berani ia menjawab, “Saya dihadapkan kemari untuk mengadukan suatu urusan.”

“Urusan apa?” Tanya hakim.

“Begini. Saya baru saja memanjat tembok orang kaya itu,” sambil menunjuk kea rah si hartawan. “Pada waktu menginjak ambang jendela kamarnya, kayunya patah sehingga saya terjatuh dan luka-luka. Maka saya datang menghadap agar Tuan menghukum orang kaya itu. Karena gara-gara ketelodorannya memasang kayu yang rapuh, saya pun mendapat celaka.”

Hakim goblok itu mengangguk-angguk. “Apa betul, hai hartawan, kayu jendelamu patah?” Orang kaya itu menyahut, “Betul, Tuan.”

Kata hakim bila demikian, engkau akan kuhukum tiga tahun penjara. Jika kelak ternyata si pencuri meninggal dunia, engkau pun akan dihukum mati.”

Hartawan itu gemetar. Namun, dengan kecerdikannya ia menyanggah, “Seharusnya kesalahan itu tidak ditimpakan kepada saya, Tuan Hakim. Sebab bukan saya yang bersalah. Tukang kayu yang memasang jendela itulah yang harus dihukum.”

Hakim goblok itu bisa juga berpikir. Ia menggumam, “Betul, betul. Yang salah memang tukang kayunya. Bukan hartawan ini.”

Maka hakim pun memerintahkan untuk mencari si tukang kayu, sedangkan hartawan tersebut segera dilepaskan.

Setelah tukang kayu itu tertangkap dan dibawa ke meja hijau, hakim bertanya, ”Betulkah kamu yang membuat dan memasang jendela di rumah orang kaya itu?”

Tukang kayu itu mengangguk sejujurnya. Sebab ia merasa tidak punya kesalahan apa-apa.

Hakim berkata, “Kalau begitu, kamu akan dihukum tiga tahun. Sebab, akibat kelalaianmu menyebabkan seorang pencuri terjatuh dan luka-luka. Kalau pencuri itu meninggal dunia, engkau pun akan dihukum mati.”

Untung tukng kayu cepat tanggap. Ia cepat membantah, “Maaf, Tuan Hakimyang terhormat. Saya mengaku membuat jendela itu kurang kuat. Tetapi, yang salah bukan saya.”

“Siapa?” Tanya hakim.

“Seorang gadis berbaju mera.”

“Alasanmu?”

“Begini, Tuan, “jawab tukang kayu. “Waktu saya sedang mengerjakan jendela, lewatlah gadis berbaju merah itu dengan lenggangnya yang menawan. Saya terpesona oleh baju merahnya yang serasi, jadi mata saya tertuju terus kepadanya.”

“Wah, kurang ajar gadis berbaju merah itu, “sambut Tuan Hakim. “Pengawal! Cari dan seret gadis berbaju merah itu kemari.”

“Dengan paksa akhirnya gadis berbaju merah itu di bawa menghadap hakim setelah digerebek di pasar. Ia langsung ditanya oleh hakim. “Apa benar kata tukang kayu? Pada waktu ia sedang membuat jendela, kamu berjalan di muka rumahnya dengan memakai baju mera?”

“Gadis itu mengangguk polos. Dan anggukan itu mengundang malapetaka. Sebab ia pun diancam akan dihukum. Maka dengan keras ia berkilah, “Kalau soal baju merah, sudah tentu yang salah bukan saya.”

“Jadi, siapa?” Tanya hakim menghardik.

“Tukang celup baju. Mengapa ia mencelup baju saya berwarna merah?”

“Hem, alasanmu masuk akal. Memang tukang celup itu yang harus dijatuhi hukuman setimpal,” ujar hakim.

Secara tangkas para punggawa yang diperintahkan menangkap tukang celup dapat menemukan rumahnya. Karena ia tidak bisa berdalih, akhirnya hukuman tiga tahun dijatuhkan kepadanya. Malang pula nasibnya. Beberapa minggu kemudian, si pencuri sakit dan meninggal dunia. Sesuai dengan keputusan semula, si tukang celup yang kebetulan bertubuh amat jngkung itu dikeluarkan dari selnya dan dibawa menuju tiang gantungan untuk dihukum mati.

Baca: Abu Nawas Membuat Onar di Tengah Pasar
 

Sesudah jerat terpasang di leher tukang celup itu, ternyata tiang gantungannya terlalu pendek dibandingkan dengan tinggi badan si tukang celup yang amat jangkung tersebut. Maka selama dua jam tukang celup itu tidak mati-mati.

Algojo pun kebingungan. Ia mendatangi tuan hakim dan mengadu, “Maaf, Tuan. Sudah dua jam tukang celup itu belum mati.”

“Sebabnya?” Tanya hakim keheranan.

“Orangnya terlalu jangkung sedangkan tiang gantungannya sangat pendek.”

“Bodoh kamu,” damprat hakim. “Begitu saja tidak bisa diatasi.”

“Bagaimana, Tuan?” Tanya algojo.

“Jika dia terlalu tinggi, cari lah tukang celup lain yang pendek. Gantunglah tukang celup yang pendek itu.”

Hari itu juga tukang celup yang jangkung dibebaskan, sedangkan seorang tukang celup berbadan kerdil ditangkap lalu dijatuhi hukuman gantung. Ia tidak ada kaitan apa-apa dengan perkara itu.

Kesalahannya Cuma satu: Kebetulan tubuhnya pendek dan hakim negeri itu orang paling bodoh yang pernah memegang wewenang hukum. Untunglah kejadian semacam itu tidak terulang lagi. Sebab, sesudah Raja yang lama meninggal dunia, Raja yang baru adalah seorang pemimpin Negara yang bijak dan adil. 
(Hidayah Edisi 43 Tahun 2005)

0 komentar:

Post a Comment