Tradisi in cukup masyhur di kalangan masyarakat Jawa. Namun ada banyak versi yang mengklaim kemunculanya, lantaran masing-masing daerah berbeda-beda dalam mempraktekannya
Rebo
wekasan atau yang dikenal juga dengan istilah rebo pungkasan adalah Rabu
terakhir di bulan safar. Pada hari itu, terdapat momentum khusus yang lazim
dilakukan sebagian besar masyarakat Jawa tempo dulu.
Ada
banyak daerah yang mengklaim kemunculannya. Gresik, misalnya, mengklaim bahwa
tradisi rebo wekasan berasal dari sana. Disebutkan bahwa zaman dahulu terjadi
bencana kekeringan di sebuah desa bernama Pelaman. Padahal Sunan Giri telah
memberikan petunjuk kalau ada sumber air yang sangat besar di sekitar Mesjid Pelaman.
Sayang, lama kelamaan sumber air tersebut menyusut.
Sunan
Giri lalu memberi petunjuk kepada warga; jika mereka menemukan tempat yang banyak
tumbuh pepohonan, maka aka nada sumber air di sana. Setelah beberapa lama
mencari, akhirnya mereka menemukan tempat tersebut di sebuah desa yang bernama
Pongangan.
Kebetulan,
hai itu bertepatan dengan hari Rebo (Rabu) terakhir di bulan Safar. Untuk mengenangnya,
warga pun senantiasa memperingati peristiwa tersebut dengan beragam ucapan
adat.
Di
Yogyakarta, tepatnya di desa Wonokromo, Plerde, Bantul, juga mengklaim
menyelenggarakan rebo wekasan. Yakni gelarnya sebuah upacara pada Selasa malam
atau malam Rabu.
Konon,
hari yang terakhir dalam bulan Safar itu merupakan hari pertemuan antara Sri
Sultan Hamengku Buwono I dengan Kyai Faqih Usman. Berdasarkan hari itulah
kemudian masyarakat menamakannya dengan upacara rebo wekasan atau rebo
pungkasan. Ketika itu, upacara dipusatkan di depan masjid. Namun seminggu
sebelumnya, terlebih dahulu diselenggarakan pasar malam.
Upacara
rebo wekasan ini sendiri dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan,
serta ungkapan terima kasih pada Kyai pertama di Wonokromo Kyai Faqih Usman atau Kyai Welit yang bisa
menyembuhkan segala penyakit dan dapat memberikan berkah untuk kesuksesan usaha
atau untuk tujuan-tujuan tertentu.
Selain
itu, ada yang menyelenggarakan rebo wekasan dengan jalan-jalan ke pantai untuk
mandi dengan maksud untuk menycikan diri dari segala kesalahan dan dosa. Namun
ada pula yang merayakannya dengan riungan (kumpul bersama) di pagi hari di
sebuah masjid. Riungan itu dipimpin oleh imam masjid dan diiringi dengan tahlil
dan tahmid serta diakhiri dengan do’a tolak bala. Setelah itu, barulah jamuan
dibagikan kepada peserta riungan untuk dimakan bersama-sama.
Masih
dengan maksud menolak bala, di sebagian tempat ada yang menyelenggarakan rebo
wekasan dengan shalat, baik dilakukan secara sendirian maupun berjamaah. Karena
itulah shalat tersebut dinamakan shalat rebo wekasan. Shalat ini biasanya
dikerjakan pada rabu pagi akhir bulan Safar setelah shalat Isyraq, kira-kira
mulai masuk waktu Dhuha.
Terkait
dengan shalat rebo wekasan ini, Ahmad Buwaethy dalam rebo wekasan menyatakan
bahwa tradisi ini bisa jadi bersumber dari sebuah buku berjudul “Kanzun Najah”
karangan Syekh Abdul Hamid Kudus. Di dalamnya diterangkan bahwa sebagian ulama
ahli mukasyafah (sebutan ulama sufi tingkat tinggi) sering melaksanakan shalat
pada setiap rabu di akhir bulan Safar. Karena pada hari itu diturunkan 360.000
malapetaka dan 20.000 macam bencana ke bumi.
Bagaimana
menyikapi?
Banyak
cara dan versi sejarah maupun mitos kemunculannya mengindikasikan bahwa praktek
rebo wekasan merupakan bagian tak terpisahkan dari tradisi sebagian besar masyarakat
Islam di Jawa.
Keinginan
mengungkapkan syukuran, membersihkan diri membaca do’a tolak bala dan do’a
selamat, serta bergembira bersilaturahim dengan makan bersama tak lain
merupakan merupakan ajang tahunan warga setempat yang sangat psitif.
Sayangnya
tak dimungkiri, cukup banyak juga memodifikasi perhelatan rebo wekasan ini
dengan acara diluar dari yang disebutkan di atas. Terutama sampai menjurus
kepada hal-hal yang berbau syirik, apalagi
pada perbuatan asusila dan tindak kriminal.
Seperti
pelaksanaan shalat rebo wekasan yang secara nyata bersumber pada pendapat ahli
mukasyafah saja. Atas dasar itulah mayoritas ulama mengatakan shalat tersebut
tidak dianjurkan, dengan alas an tidak ada Hadits yang menerangkannya.
Sikap
baik terhadap hal ini adalah mengembalikannya pada aturan bahwa semua ibadah
didasarkan atas perintah. Jika perintah tersebut tidak ada, tentunya khawatir
akan melenceng dari yang digariskan agama. Sebab hakikatnya semua shalat yang
kita kerjakan baik wajib maupun sunah dapat menolak bala.
Selain
shalat rebo wekasan, adanya anggapan bahwa mandi Safar sebagai media pencuci
dosa, tarian bersama sinden dengan memasukkan uang ke kemben bagian dalam dada
sinden, minuman-minuman, judi dan seterusnya adalah hal yang tak bisa dipisahkan
dari perhelatan rebo wekasan. Tradisi seperti ini sangat bertentangan dengan
nilai-nilai Islam.
Padahal
masih banyak hal-hal positif dari tradisi rebo wekasan yang bisa diterima. Apalagi
kalau kita bisa menjadikan tradisi ini sebagai media syiar Islam. Karena itu,
perlua kearifan dalam memaknai dan mempraktekan tradisi ini. (Hidayah Edisi 90
Februari 2009).
0 komentar:
Post a Comment