Tes Paragraf

Friday, November 16, 2018

REBO WEKASAN: Tradisi Tolak Bala dan Ungkapan Syukur


Tradisi in cukup masyhur di kalangan masyarakat Jawa. Namun ada banyak versi yang mengklaim kemunculanya, lantaran masing-masing daerah berbeda-beda dalam mempraktekannya

Rebo wekasan atau yang dikenal juga dengan istilah rebo pungkasan adalah Rabu terakhir di bulan safar. Pada hari itu, terdapat momentum khusus yang lazim dilakukan sebagian besar masyarakat Jawa tempo dulu.


Ada banyak daerah yang mengklaim kemunculannya. Gresik, misalnya, mengklaim bahwa tradisi rebo wekasan berasal dari sana. Disebutkan bahwa zaman dahulu terjadi bencana kekeringan di sebuah desa bernama Pelaman. Padahal Sunan Giri telah memberikan petunjuk kalau ada sumber air yang sangat besar di sekitar Mesjid Pelaman. Sayang, lama kelamaan sumber air tersebut menyusut.

Sunan Giri lalu memberi petunjuk kepada warga; jika mereka menemukan tempat yang banyak tumbuh pepohonan, maka aka nada sumber air di sana. Setelah beberapa lama mencari, akhirnya mereka menemukan tempat tersebut di sebuah desa yang bernama Pongangan.


Kebetulan, hai itu bertepatan dengan hari Rebo (Rabu) terakhir di bulan Safar. Untuk mengenangnya, warga pun senantiasa memperingati peristiwa tersebut dengan beragam ucapan adat.

Di Yogyakarta, tepatnya di desa Wonokromo, Plerde, Bantul, juga mengklaim menyelenggarakan rebo wekasan. Yakni gelarnya sebuah upacara pada Selasa malam atau malam Rabu.


Konon, hari yang terakhir dalam bulan Safar itu merupakan hari pertemuan antara Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan Kyai Faqih Usman. Berdasarkan hari itulah kemudian masyarakat menamakannya dengan upacara rebo wekasan atau rebo pungkasan. Ketika itu, upacara dipusatkan di depan masjid. Namun seminggu sebelumnya, terlebih dahulu diselenggarakan pasar malam.


Upacara rebo wekasan ini sendiri dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, serta ungkapan terima kasih pada Kyai pertama di Wonokromo  Kyai Faqih Usman atau Kyai Welit yang bisa menyembuhkan segala penyakit dan dapat memberikan berkah untuk kesuksesan usaha atau untuk tujuan-tujuan tertentu.


Selain itu, ada yang menyelenggarakan rebo wekasan dengan jalan-jalan ke pantai untuk mandi dengan maksud untuk menycikan diri dari segala kesalahan dan dosa. Namun ada pula yang merayakannya dengan riungan (kumpul bersama) di pagi hari di sebuah masjid. Riungan itu dipimpin oleh imam masjid dan diiringi dengan tahlil dan tahmid serta diakhiri dengan do’a tolak bala. Setelah itu, barulah jamuan dibagikan kepada peserta riungan untuk dimakan bersama-sama.

Masih dengan maksud menolak bala, di sebagian tempat ada yang menyelenggarakan rebo wekasan dengan shalat, baik dilakukan secara sendirian maupun berjamaah. Karena itulah shalat tersebut dinamakan shalat rebo wekasan. Shalat ini biasanya dikerjakan pada rabu pagi akhir bulan Safar setelah shalat Isyraq, kira-kira mulai masuk waktu Dhuha.


Terkait dengan shalat rebo wekasan ini, Ahmad Buwaethy dalam rebo wekasan menyatakan bahwa tradisi ini bisa jadi bersumber dari sebuah buku berjudul “Kanzun Najah” karangan Syekh Abdul Hamid Kudus. Di dalamnya diterangkan bahwa sebagian ulama ahli mukasyafah (sebutan ulama sufi tingkat tinggi) sering melaksanakan shalat pada setiap rabu di akhir bulan Safar. Karena pada hari itu diturunkan 360.000 malapetaka dan 20.000 macam bencana ke bumi.


Bagaimana menyikapi?

Banyak cara dan versi sejarah maupun mitos kemunculannya mengindikasikan bahwa praktek rebo wekasan merupakan bagian tak terpisahkan dari tradisi sebagian besar masyarakat Islam di Jawa.


Keinginan mengungkapkan syukuran, membersihkan diri membaca do’a tolak bala dan do’a selamat, serta bergembira bersilaturahim dengan makan bersama tak lain merupakan merupakan ajang tahunan warga setempat yang sangat psitif.

Sayangnya tak dimungkiri, cukup banyak juga memodifikasi perhelatan rebo wekasan ini dengan acara diluar dari yang disebutkan di atas. Terutama sampai menjurus kepada hal-hal yang  berbau syirik, apalagi pada perbuatan asusila dan tindak kriminal. 


Seperti pelaksanaan shalat rebo wekasan yang secara nyata bersumber pada pendapat ahli mukasyafah saja. Atas dasar itulah mayoritas ulama mengatakan shalat tersebut tidak dianjurkan, dengan alas an tidak ada Hadits yang menerangkannya.


Sikap baik terhadap hal ini adalah mengembalikannya pada aturan bahwa semua ibadah didasarkan atas perintah. Jika perintah tersebut tidak ada, tentunya khawatir akan melenceng dari yang digariskan agama. Sebab hakikatnya semua shalat yang kita kerjakan baik wajib maupun sunah dapat menolak bala.


Selain shalat rebo wekasan, adanya anggapan bahwa mandi Safar sebagai media pencuci dosa, tarian bersama sinden dengan memasukkan uang ke kemben bagian dalam dada sinden, minuman-minuman, judi dan seterusnya adalah hal yang tak bisa dipisahkan dari perhelatan rebo wekasan. Tradisi seperti ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam. 


Padahal masih banyak hal-hal positif dari tradisi rebo wekasan yang bisa diterima. Apalagi kalau kita bisa menjadikan tradisi ini sebagai media syiar Islam. Karena itu, perlua kearifan dalam memaknai dan mempraktekan tradisi ini. (Hidayah Edisi 90 Februari 2009).

0 komentar:

Post a Comment