Suatu saat, seorang pedagang melakukan perjalanan. Karena
kelelahan, ia memutuskan untuk bermalam di sebuah penginapan. Tak berselang
lama, pelayan hotel menyuguhkan ayam dan dua butir telur serta sepotong roti
untuk santap malam. Keesokan harinya, pedagang itu bermaksud melanjutkan
perjalanannya.
“Soal tagihanku, kita perhitungkan nanti saja setelah aku
kembali,” kata pedagang itu. Tak terasa tiga bulan berlalu. Pedagang itu
kembali bermalam di penginapan itu. Pelayan hotel kembali menyuguhkan ayam dan
dua butir telur seperti sebelumnya. Ketika pedagang itu bangkit dan pergi, ia
menemui pengelola hotel.
“Maaf Pak, sudah lama aku belum mebayar utang. Berapa jumlah
utangku sekarang?” kata pedagang itu membuka percakapan.
“Wah, itu sudah lama sekali. Bayar saja aku dua ratus piesters
(nilai mata uang yang cukup besar waktu itu), lalu kau boleh pergi,” jawab
pemilik hotel.
Pedagang yang tahu betapa harganya uang sebesar itu
menjawab, “Wahai Tuan, apakah engkau sudah gila? Apa maksud permintaanmu dua
ratus piesters sebagai harga dari dua potong ayam dan empat telur?”
“Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa seharusnya sudah
lama kau harus melunasinya. Jika aku terangkan secara rinci, maka akan jelas
permasalahannya. Dan engkau tidak bisa mengelak karena engkau sudah datang
sejak tiga bulan lalu ke penginapan ini.
“Ayam yang engkau makan tiga bulan lalu jika setiap hari
bertelur pasti sudah mengeluarkan telur yang banyak sekali dan jika telur-telur
itu diletakkan dibawahnya agar dierami, maka akan menetas beberapa ekor anak
ayam, dan jika ayam-ayam itu besar pasti akan bertelur lagi.
“Dan jika semua itu dijumlahkan, maka aku akan mempunyai
pasukan ayam dan jumlahnya pasti sudah ribuan piesters saja, dan pasti jumlah
yang aku minta terlalu sedikit dibanding kerugian yang semestinya aku terima,”
kata pengelola hotel.
Perang mulut di antara mereka terus berlanjut, sehingga
pertengkaran ini berakhir di persidangan.
“Apakah engkau tak mampu membayar harga dua ekor ayam dan
telurnya?” Tanya jaksa kepada pedagang.
“Karena harganya terlalu murah, aku berkata kepada
pemilik penginapan untuk membayarnya nanti saja setelah aku kembali,” jawab
sang pedagang.
“Bukankah dua ekor ayam dan empat butir telur dapat
menelurkan ribuan telur lagi?”
Lantas pedagang tersebut mengutarakan beberapa argumen,
namun tidak diterima oleh jaksa. Ketika ia mengetahui bahwa hakim akan
menjatuhkan sangsi kepadanya dengan membayar dua ratus piesters, hatinya mulai
gusar, dan ia minta kepada hakim untuk menunda putusan. Jaksa pun menunda hasil
putusan siding.
Di luar persidangan, pedagang tersebut berdiskusi dengan
teman-temanya mengenai langkah apa yang bisa dilakukan dirinya agar mendapatkan
putusan yang bijak. Beberapa orang menyarankan kepadanya untuk menemui dan
menyampaikan perkaranya kepada Juha.
Akhirnya pedagang tersebut nenemui Juha dan menceritakan
permasalahannya dengan rinci. Pedagang tersebut memberi kuasa kepadanya agar
membelanya dalam persidangan.
Tapi saat hari persidangan tiba, Juha tidak menunjukkan
batang hidungnya. Inilah yang membuat jaksa kesal karena harus menunggu Juha,
dan akhirnya ia mengutus seseorang untuk menjemput Juha.
“Mengapa kamu tidak datang tepat waktu dan membiarkan
kami menunggu terlalu lama? Kamu telah membuat peserta siding menunggu,” kata
jaksa dengan nada marah kepada Juha tatkala Juha menginjakkan kakinya di tempat
persidangan.
“Jangan marah Pak, ketika aku ingin datang ke pengadilan
pada waktunya, teman yang aku minta untuk menanam gandum di ladang akan datang.
Aku menemuinya dan memberikan sebungkus biji gandum yang sudah ditumbuk. Karena
sepengetahuanku para petani menanam biji gandum namun aku tidak mendapat bagian
dari hasil panennya.
“Oleh karena itulah aku menanam gandum yang sudah
ditumbuk dengan harapan dapat menghasilkan panen yang banyak, aku memberikan
dua bungkus biji gandum yang sudah ditumbuk. Itulah sebabnya kenapa aku bisa
terlambat datang ke persidangan ini,” Juha menerangkan.
“Apakah kalian dengar bahwa biji gandum yang sudah
ditumbuk dapat tumbuh kembali?” Tanya jaksa.
“Apakah ayam yang sudah dimasak dapat bertelur? Dan apakah
telur itu dapat menetas lalu bekembang menjadi ayam yang besar? Dan apakah
pantas menghukum pedagang atas dua ayam, dan empat telur yang dimakannya dengan
bayaran sebesar dua ratus piesters?” Juha balik bertanya.
Mendengar penuturan Juha, jaksa tidak bisa
berbuat apa-ap. Terpaksa, jaksa membatalkan putusannya dan melepaskan Juha
serta memerintahkan pemilik penginapan untuk pulang.
Sumber: Hidayah Edisi 81 Mei 2008
0 komentar:
Post a Comment