Republik Turkestan Timur
Pertama (RTTP), atau Republik
Islam Turki Turkestan Timur adalah republik islam yang didirikan pada tahun 1933. Deklarasi
Turkistan Timur (12 November 1933) di Kasghar, diperkirakan dihadiri oleh
25,000 orang dan 12,000 diantaranya adalah angkatan bersenjata muslim. Negara ini dipusatkan di kota Kasghar yang kini dikelola Daerah Otonom Uighur Xinjiang. Meskipun negara ini adalah
program gerakan kemerdekaan dari Uighur, penduduk yang hidup di sana, RTT adalah wilayah yang
didominasi etnis Turki, termasuk Kirgiz, dan lainnya Turki dalam pemerintahan dan penduduknya.
Republik Turkestan Timur
Pertama dihapuskan dengan penghapusan Kasghar pada tahun 1934 oleh kepala suku Hui yang secara teoretis bersekutu dengan pemerintah Kuomintang di Nanjing. Namun, tinggalannya menjadi aspirasi pembentukan Republik Turkestan Timur Kedua satu dekade kemudian,
dan terus mempengaruhi pendukung nasionalis Uyghur modern untuk mendirikan sebuah negara Turkistan Timur merdeka. Isa Alptekin adalah sekjen untuk Republik
Turkestan Timur Pertama.
Banyak orang
tak mengenal negeri Turkistan. Tetapi bagi umat Islam, tak kenal dengan salah
satu negeri Islam yang kemasyhurannya hampir menyamai Andalusia, sangatlah aib.
Bukankah
nama-nama ilmuwan kita berasal dari sana? Al-Bukhari, Al-Biruni, Al-Farabi, Abu
Ali Ibnu Sina, dan sejumlah tokoh lainnya yang sampai kini merupakan
tokoh-tokoh paling tak terlupakan umat Islam, berasal dari negeri tersebut.
Turkistan
terletak di Asia Tengah dengan penduduk mayoritas keturunan Turki, merupakan
salah satu benteng kebudayaan dan peradaban Islam.
Pada abad
ke-16 sampai abad ke-18, bangsa Cina dan Rusia mulai mengerlingkan nafsu
angkaranya ke Turkistan dan mulai berfikir tentang kemungkinan untuk melakukan
ekspansi pencaplokan wilayah teritorial.
Cina mulai
bergerak menaklukkan Turkistan Timur dan kemudian merubah namanya menjadi
Xinjiang, sementara Turkistan Barat telah lebih dahulu dicaplok Rusia.
Atas aksi
ekspansionis tersebut, Turkistan negeri Islam tersebut kini benar-benar telah
raib (musnah) dari peta dunia. Penjajah Komunis Rusia dan Cina telah
memecah-belahnya menjadi negara-negara boneka yang kini termasuk bagian dari
Republik Sosialis Unisoviet dan Republik Rakyat Cina, dua komunis terbesar di
dunia.
1. Turkistan Barat
Turkistan
Barat telah lebih dahulu dicaplok Rusia. Dengan berbagai alasan politik, Soviet
menghapuskan nama Turkistan dari peta dunia dan memancangkan nama Republik
Soviet Uzbekistan, Republik Soviet Turkmenistan, Republik Soviet Tadzhikistan,
Republik Soviet Kazakestan, dan Republik Soviet Kirgistan.
Mereka
akhirnya menjadi 5 negara kecil-kecil bernama Uzbekistan, Kazakstan,
Turkmenistan, Kirzigistan dan Tazikistan.
Tidak itu saja,
pada tahun 1928 Rusia membuat suatu tim untuk merubah Bahasa Turki dan Huruf
Arab di 5 negara itu menjadi bahasa Latin dan kemudian diubah menjadi Bahasa
Rusia.
Namun kelima
negara yang berhasil merdeka itu masih bisa melakukan kegiatan keagamaan Islam
dengan bebas dibanding Turkistan timur yang dikuasai Cina.
2. Turkistan Timur
Komunis Cina
telah mengadakan penghancuran total di Turkistan Timur. Sering kita mendengar
Cina melarang muslim xinjiang berpuasa, melarang shalat berjamaah terbuka,
melarang kegiatan tabligh akbar, menangkap mahasiswa muslim yang kuliah di
timur tengah dan sebagainya.
Agama Islam,
umatnya, kebudayaan dan sejarahnya hendak dibumi-hanguskan dengan segala
kekejaman yang kelewat batas. Cina sudah melanggar hak-hak beribadah agama muslim
Turkistan timur.
Senyap tapi
pasti, Cina menjalankan operasi militer yang sistematis untuk membersihkan 15
juta etnis uyghur Muslim di Xinjiang. Wilayah tersebut sebetulnya adalah
Turkistan Timur hingga Cina mulai menduduki dan menjajah area tersebut di tahun
1949.
Lebih lanjut
lagi, Cina tidak melakukan menghilangkan jejak kekerasan mereka di kehidupan
Muslim Uyghur sebelumnya. Hal ini seperti mimpi buruk yang kembali muncul,
menampilkan genosida yang dilakukan di abad sebelumnya. Memori itu sengaja
dihidupkan kembali di internet dan media, hari-hari terkelam negara Komunis.
Sebuah periode “revolusi kultur”, ketika orang-orang dan daerah-daerah agamis
dihapuskan dari negara tersebut.
Akan tetapi,
selama tahun 1970 hingga 1980, Cina semakin terbuka dan melunakkan sikapnya
terhadap minoritas baik etnis maupun agama. Namun di balik itu, minoritas tetap
terjepit dari sisi ekonomi, politik dan keagamaan mereka.
Muslim Uyghur
mencoba menyerukan kembali kemerdekaan mereka, karena memang status mereka
sebagai negara berdaulat Republik Turkistan Timur, Meski negara tersebut hanya
sesaat di tahun 1940 sebelum ada campur tangan Cina. Mengetahui hal itu, Cina
yang takut akan berkembangnya gerakan separatis di perbatasan barat, mulai
melakukan tindakan keras terhadap Xinjian di akhir 1990-an.
Keberadaan sekolah
Islam, masjid dan imam dikontrol secara ketat, dan para
imam diharuskan “berdiri di sisi pemerintah dengan teguh dan menyampaikan
pendapatnya dengan tidak samar-samar.”
Sejak 1995 hingga 1999,
pemerintah telah meruntuhkan 70 tempat ibadah serta mencabut surat izin 44
imam.
Pemerintah
juga secara resmi menerapkan larangan ibadah perorangan di tempat-tempat milik
negara. Larangan ini juga mencakup larangan shalat, puasa di
bulan Ramadhan di kantor atau sekolah milik negara. Di bidang tenaga
kerja bisnis dan pemerintahan, orang-orang Muslim sering dihambat dari jabatan
yang tinggi.
Kekerasan yang
dilakukan oleh Cina semakin menjadi-jadi ketika AS mendeklarasikan “perang
terhadap terorisme” di tahun 2001. Cina menggunakan kesempatan itu untuk
menggambarkan Muslim Uyghur sebagai bagian dari kebangkitan jihadis global,
sampai-sampai mereka mengaitkan mimpi nasionalisme Uyghur dengan tujuan
kelompok teror Al-Qaeda.
Dalam pelaksanaannya,
Cina bertaruh bahwa mereka bisa melakukan apapun yang mereka mau terhadap
muslim uyghur selama mereka bisa mengelabui Barat untuk percaya bahwa Uyghur
adalah bagian dari Islam Radikal.
Tetapi operasi
militer Cina telah melampaui batas hingga menjadi pembunuhan masal. Kasus di
Cina bisa jadi adalah terbesar di dunia yang disponsori oleh negara.
Cina telah
melarang syiar Islam dalam bentuk apapun di Turkistan Timur, memaksa Muslim
Uyghur untuk mengumumkan kemurtadan mereka di muka umum dan bersumpah setia
terhadap negara komunis. Baru-baru ini saya mem-post video twitter bahwa
otoritas Cina mengabarkan pada kelompok Muslim Uyghur bahwa mereka sekarang
dilarang untuk menyalami satu sama lain dengan salam Islam,
“Assalaamu’alaikum”.
Tulisan
Islam juga dilarang, termasuk Qur’an. Jenggot yang terlihat “tidak normal” atau
“terlalu muslim” juga dilarang. Tahun lalu, Cina mempublikasikan dokumen
berjudul “Aturan penamaan bagi etnis minoritas” yang melarang nama yang
diasosiasikan dengan Islam, termasuk Medina, Islam, Imam, Hajj, dan lainnya.
“Dengan
membatasi penamaan Uyghur, Pemerintah Cina sebenarnya telah melakukan persekusi
politik dengan bahasa lain,” kata Dilxat Raxit, juru bicara kelompok World
Uyghur Congress terhadap Radio Free Asia. “Mereka takut orang-orang dengan
nama tersebut akan menjadi asing dari aturan-aturan Cina di area tersebut.”
Hal-hal ini
adalah contoh dari bagian dari kebijakan restriktif dan diskriminatif yang
dipaksakan terhadap mereka yang tinggal di area tersebut. Muslim Uyghur
sekarang harus memiliki alat pelacak terinstall di mobil dan telepon genggam
mereka.
Penamaan
bayi, jenggot, dan alat pelacak hanyalah puncak gunug es dari seluruh masalah
yang dihadapi oleh Muslim Uyghur, jika dibandingkan dengan operasi militer Cina
yang brutal. Penyiksaan, pemenjaraan, hukuman bunuh oleh negara dan penculikan
telah menjadi realitas baru di area Xinjiang.
Menurut
laporan dari pengamat HAM, Cina telah memerintahkan pejabatnya di Xinjiang
untuk mengirimkan hampir setengah populasinya untuk menjalani “kamp edukasi
ulang”, yang sebenarnya berisi kerja paksa dan kamp indoktrinasi, hal yang
sudah lama ini diasosiasikan dengan Korea Utara.
“Kami menarget
orang-orang agamis contohnya, mereka yang memanjangkan jenggot meskipun masih
muda,” salah satu pejabat cina mengakui dalam laporan tersebut.
Ketika aku
berbicara dengan Abdugheni Thabit, jurnalis muslim uyghur yang sekarang
tinggal di Belanda, dia mengatakan padaku bahwa saat ini terdapat satu juta
orang uyghur yang berada di “kamp penjara”. Steven Zhang, Muslim Hui yang saat
ini tinggal di Houston, Texas, dan juga orang yang menuntut pemerintah Cina
atas pembunuhan istrinya yang muslim Uyghur, mengatakan bahwa penggambaran
Thabit sangat konservatif. Menurutnya, “Dalam lima tahun terakhir setidaknya 5
juta Uyghur telah ditahan atau menghilang secara tiba-tiba.”
Penculikan
juga telah menjadi tren yang mengkhawatirkan dan menonjol dalam dua tahun ini.
menurut Chinese Human Rights Defenders, aparat keamanan Cina telah menculik
setidaknya 26 jurnalis, penulis, blogger dan aktifis HAM.
“Korban
seringkali diculik dengan kekerasan, menolak hak mereka terhadap hukum dan
kontak dengan keluarga serta pengacara. Mereka juga memiliki resiko tinggi
untuk menghadapi siksaan selama masa penahanan,” menurut hasil pengamatan
Asosiasi Uyghur Amerika.
Semua yang
terjadi tersebut keluar dari pandangan komunitas Internasional, utamanya karena
kontrol Cina yang kuat terhadap Internet dan media sosial. Thabit mengatakan
padaku bahwa ia belum mendapatkan kabar sama sekali dari keluarga muslim uyghur
di Turkistan Timur sejak tahun 2009, karena Cina mengontrol seluruh bentuk
komunikasi yang keluar dari area tersebut. Yang dia tahu adalah bahwa mereka
masih hidup di tahun 2014, ketika adiknya yang hidup di washington DC berkunjung.
Sekali lagi, mirip dengan Korea Utara.
Situasi di
Xinjiang telah menjadi lebih buruk, menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh US
Congressional Executive Commission on China (CECC) di awal bulan ini.
“Warga sipil
ditahan tanpa alasan, kamp ‘edukasi politis’ menjamur, dan pengawasan masal
menginvasi seluruh aspek dari kehidupan sehari-hari. Pelanggaran terhadap HAM
ini sangat berbahaya dan beresiko sebagai katalis dari radikalisasi,” kata
presiden CECC Sen. Marco Rubio (R-FL).
Menurut Human
Rights Watch, suku Uighur khususnya, dipantau secara sangat ketat. Mereka harus
memberikan sampel biometrik dan DNA. Dilaporkan terjadi penangkapan terhadap
mereka yang memiliki kerabat di 26 negara yang dianggap 'sensitif'. Dan hingga
satu juta orang telah ditahan.
Kelompok-kelompok
HAM mengatakan orang-orang di kamp-kamp itu dipaksa belajar bahasa Mandarin dan
diarahkan untuk mengecam, bahkan meninggalkan keyakinan iman mereka.
Penderitaan
tambahan bagi Muslim Uyghur adalah tidak adanya teman di manapun di sistem
internasional. Sekutu tradisional Turki dan Pakistan telah terbawa dalam
pusaran pengaruh ekonomi Cina, sementara negara-negara kaya Arab terlalu sibuk
dengan Iran, Qatar, atau keduanya.
Jika sejarah
adalah petunjuk, dan jika penderitaan Muslim Uyghur tidak kunjung terdengar
oleh komunitas Internasional, maka kita bisa pastikan bahwa saat di mana
program re-edukasi dan asimilasi Cina gagal, maka pemusnahan masal pasti akan
mengikutinya.
Sumber:
https://alimancenter.com/artikel/berita/sejarah/turkistan-timur-negeri-islam-yang-hilang-dan-perlu-merdeka/