Seorang guru sebuah Sekolah Dasar terancam di pecat dari lingkungan
tempatnya ia bekerja, ada pun alasannya
sudah lama tidak masuk kelas untuk menunaikan tugas utamanya mengajar. Usut punya
usut ternyata penyebab utamanya ia
jarang datang di sekolah adalah masalah utang piutang. Ia terjerat utang kepada
pada banyak pihak, ketika berada di sekolah atau pun di rumah ia selalu saja di
datangi oleh penagih utang. Akhirnya untuk menghindari penagih utang dia pergi
dari rumah dan sering meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang pegawai negeri
sipil. Hal ini terjadi karena perilaku yang terlalu konsumtif sehingga besar
pasak dari pada tiang, untuk menutupi kebutuhannya berutang kesana kemari.
Hendaklah kita tidak mudah terjebak
dengan utang. Kalau kita tak terlalu membutuhkan barang itu, kenapa kita harus
berutang untuk mendapatkannya? Di zaman yang serba canggih ini, memang tidak
ada yang sulit untuk kita lakukan. Ada kartu kredit, pinjaman tanpa agunan dan
sebagainya yang bila kita membutuhkannya tinggal gesek saja. Barang yang kita
inginkan pun didapatkan. Tetapi kita sudah dikondisikan untuk bisa melunasinya
karena dikontrol oleh bank.
Yang jadi masalah apabila kita
berutang pada orang lain yang bukan institusi. Sebab kerapkali kita lupa untuk
melunasi utang-utang tersebut apalagi nilai nominalnya kecil. Sementara orang
yang diutangi pun malu untuk menagihnya walaupun dalam hati kecilnya ia sangat
membutuhkan. Jika kita melakukan hal yang sama kepada beberapa orang betapa
ruginya kita karena satu utang saja akan menjadi masalah di alam kubur dan
akhirat kelak. Apalagi kalau kita utang pada banyak orang.
Ada sebuah kisah dari Sayyid Ali,
seorang yang mulia, alim wara’. Dia adalah putera ulama besar,seorang faqih
yang mulia dan teladan dalam perjalanan ruhani yaitu Al-Amir Sayyid Hasan
bin Al-Amir Sayyid Muhammad Baqir bin Al-Amir Ismail Al-Isfahani. Ia berkisah
sebagai berikut: “Setelah ayahku meninggal, aku tinggal di Masyhad (Iran) untuk
menuntut ilmu. Samapai sekarang aku tidak banyak tahu tentang urusan ayahku
secara detail. Yang lebih tahu adalah saudara-saudaraku. Setelah tujuh bulan
ayahku wafat, ibuku menyusul ke alam baqa. Jenazah ibuku dibawa dan dikuburkan
di Najef (Irak).
“Tidak lama kemudian aku bermimpi:
seolah-olah aku duduk di rumahku. Ketika ayahku masuk, aku berdiri dan
mengucapkan salam. Kemudian ia duduk di depanku dan menyapaku dengan lemah
lembut, dan aku tahu bahwa ia telah meninggal. Lalu aku bertanya: Bukankah ayah
telah meninggal di Isfahan?
“Ayahku menjawab: ya, tapi mereka
memindahkan aku ke Najef, dan aku sekarang tinggal di sana.
Aku bertanya: “Ibu di dekat ayah?”
Ayahku menjawab:”Tidak”
Aku bertanya:”Ibu tidak tinggal di
Najef?”
Ayahku menjawab:”Ya, tapi di tempat
lain.”
“Aku baru tahu bahwa tempat tinggal
orang alim lebih mulia dari ora yang tidak alim.”
Kemudian aku bertanya tentang
keadaanya. Ayahku menjawab:”Dahulu kuburku kesempitan dan sekarang
alhamdulillah dalam kedaan yang baik. Kesempitan dan himpitan menghilang
dariku.”
Aku heran atas kejadian itu dan
bertanya: “Ayah dalam kesempitan?”
Ayahku menjawab: “Ya, karena Haji
Ridha bin A’a Babasy Syahir menagihku, dan itu yang menyebabkan
keburukan keadaanku.”
Aku bertambah heran. Lalu aku
terbangun dari tidurku dalam keadaan takut dan heran. Kemudian aku mengirim
surat kepada saudaraku tentang wasiat ayahku dalam mimpiku. Dalam suratku aku
bertanya, apakah ayahku pernah berutang kepadanya.
Orang tersebut berkata: “Ya, ayahmu punya
utang kepadaku sebesar delapan belas Tuman (mata uang Iran), dan tidak ada
seorangpun yang tahu kecuali Allah. Setelah wafatnya aku pernah bertanya
kepadamu: apakah namaku ada dalam daftar buku harian ayahmu? Kamu menjawab
tidak ada. Aku kecewa dan hatiku terasa sesak, karena aku pernah meminjamkan
uang padanya tanpa bukti secarik kertas, dan aku yakin ia tidak mencatat dalam
buku hariannya. Saat itu aku pulang dengan hati yang kecewa.
“Kemudian saudaraku berkata kepadanya
bahwa aku bermimpi hal itu, dan akan membayarkan utang ayahku. Kemudian orang
tersebut berkata: karena berita dari saudaramu ini, sekarang utangnya aku
relakan dan aku ikhlaskan.”
Kisah yang dikutip oleh Syeikh An-Nuri
dalam kitabnya yang berjudul Dar As-Salam 2: 164 ini menunjukkan kepada
kita bahwa utang itu ternyata sangat berpengaruh pada nasib kita kelak di alam
kubur. Jika kita masih dalam kondisi berutang lalu meninggal dunia, maka kelak
kondisi kita akan dipersulit sebelum utang kita ada yang melunasinya atau orang
yang mengutangi kita mengikhlaskannya.
Kasus di atas menunjukkan pada kita bahwa
orang saleh pun akan mengalami hal yang kurang nyaman di dalam kuburnya karena
utang yang belum dilunasinya. Jadi, kita jangan menganggap sepele pada utang
meski kecil sekalipun.
Bahkan, dalam sebuah Hadits
disebutkan bahwa ruh orang meninggal dunia akan ditahan di tempatnya karena
utang yang belum dilunasinya. Hal ini diketahui berdasarkan hadits Nabi, “Ruh
seorang mukmin tertahan karena utangnya hingga ia dilunasi.”(HR Ahmad dalam
Al-Musnad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Menurut Al-Iraqi, maksud tertahan
dari hadits di atas adalah “Tertahan pada tempatnya yang mulia.” Dikatakan olehnya
bahwa urusan orang mulia yang berutang itu di diamkan, tidak dapat dihukumi
bahwa ia selamat atau binasa hingga dilihat apakah utangnya yang menjadi
tanggungannya dilunasi atau tidak. “Jadi, utang akan menimbulkan azab kubur
hingga dilunasi,” tulis M. Abdul Malik Az-Zaghabi dalam “82 Pertanyaan
tentang Alam Kubur”.
Mas’ad bin Al-Athwal berkisah bahwa saudaranya meninggal
dengan mewariskan 300 dirham serta meninggalkan keluarganya yang menjadi
tanggunannya. Mas’ad berkata, Saya hendak menginfakkan seluruh warisannya
kepada keluarga yang ditinggalkan.” Nabi bersabda, “Sesungguhnya saudaramu
tertahan karena utangnya, (pergilah) dan lunasilah utangnya.”
Maka saya pun melunasinya. Kemudian saya
menghadap Rasulullah, saya telah melunasinya kecuali dua dinar yang diklaim
oleh seorang wanita, namun dia tidak memiliki bukti.” Rasulullah bersabda, “Berikanlah
kepadanya karena dia memang yang berhak.”(HR. Ibnu Majah, Ahmad dan al-Baihaqi).
Kisah lain datang dari Samurah bin
Jundab bahwa Nabi pernah menyalati seorang jenazah-dalam riwayat lain
shalat Subuh. Ketika pulang, beliau bertanya, “Apakah di sini ada anggota
keluarga si fulan?” Kaum yang ditanya diam saja. Dan memang begitulah
kebiasaan mereka. Jika didahului dengan pertanyaan, mereka diam. Maka Nabi
melontarkan pertanyaan beberapa kali dan tidak seorang pun yang menjawabnya). Seorang
laki-laki berkata, “Ada itulah orangnya!”.
Berdirilah seorang laki-laki menyeret
kainnya dari barisan paling belakang. Nabi berkata kepadanya, ”Apa yang
menghalangi mu tidak menjawab pertanyaanku yang pertama dan yang kedua? Sedang aku,
tidak memanggil nama kalian kecuali demi kebaikan. Sesungguhnya fulan –kepada seorang
laki-laki dari mereka- tertahan oleh utangnya (dari surga). Terserah kalian
apakah akan melunasinya atau membiarkannya dalam azab kubur. Andai saja ada
anggota kelurganya atau orang lain yang peduli membayarkan utangnya, hingga
tidak ada seorang pun yang menuntutnya.” (HR Abu Daud, An-Nasai, Al-Baihaqi
dan al-Hakim).
Begitu vitalnya masalah utang ini,
hingga jihadnya seorang hamba di jalan Allah (mati syahid) pun tidak bisa menghapusnya.
Abdullah bin Amer meriwayatkan sabda Nabi, “Terbunuh di jalan Allah
menghapuskan segala dosa kecuali utang.”(HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, An-Nasai,
At-Tirmidzi, Malik dan Darimi).
Bayangkan, seorang syahid tidak lantas
masuk surga jika ia masih memiliki utang. Selama utang itu belum di bayar,
keadaannya digantung di akhirat nanti, apakah ia masuk surga atau neraka. Setelah
utangnya dipastikan terbayar, ia baru divonis Allah untuk masuk surga. Jadi,
betapa urgensinya nilai nilai sebuah utang ini, meski sangat kecil sekalipun
angkanya. Sekali lagi, janganlah kita menganggap remeh pada utang.
Sumber: Majalah Hidayah Edisi 89 Januari 2009