Tes Paragraf

Saturday, May 18, 2013

UTANG DAN AZAB KUBUR

Seorang guru sebuah Sekolah  Dasar terancam di pecat dari lingkungan tempatnya ia bekerja,  ada pun alasannya sudah lama tidak masuk kelas untuk menunaikan tugas utamanya mengajar. Usut punya usut ternyata penyebab utamanya  ia jarang datang di sekolah adalah masalah utang piutang. Ia terjerat utang kepada pada banyak pihak, ketika berada di sekolah atau pun di rumah ia selalu saja di datangi oleh penagih utang. Akhirnya untuk menghindari penagih utang dia pergi dari rumah dan sering meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang pegawai negeri sipil. Hal ini terjadi karena perilaku yang terlalu konsumtif sehingga besar pasak dari pada tiang, untuk menutupi kebutuhannya berutang kesana kemari.
Hendaklah kita tidak mudah terjebak dengan utang. Kalau kita tak terlalu membutuhkan barang itu, kenapa kita harus berutang untuk mendapatkannya? Di zaman yang serba canggih ini, memang tidak ada yang sulit untuk kita lakukan. Ada kartu kredit, pinjaman tanpa agunan dan sebagainya yang bila kita membutuhkannya tinggal gesek saja. Barang yang kita inginkan pun didapatkan. Tetapi kita sudah dikondisikan untuk bisa melunasinya karena dikontrol oleh bank.
Yang jadi masalah apabila kita berutang pada orang lain yang bukan institusi. Sebab kerapkali kita lupa untuk melunasi utang-utang tersebut apalagi nilai nominalnya kecil. Sementara orang yang diutangi pun malu untuk menagihnya walaupun dalam hati kecilnya ia sangat membutuhkan. Jika kita melakukan hal yang sama kepada beberapa orang betapa ruginya kita karena satu utang saja akan menjadi masalah di alam kubur dan akhirat kelak. Apalagi kalau kita utang pada banyak orang.
Ada sebuah kisah dari Sayyid Ali, seorang yang mulia, alim wara’. Dia adalah putera ulama besar,seorang faqih yang mulia dan teladan dalam perjalanan ruhani yaitu Al-Amir Sayyid Hasan bin Al-Amir Sayyid Muhammad Baqir bin Al-Amir Ismail Al-Isfahani. Ia berkisah sebagai berikut: “Setelah ayahku meninggal, aku tinggal di Masyhad (Iran) untuk menuntut ilmu. Samapai sekarang aku tidak banyak tahu tentang urusan ayahku secara detail. Yang lebih tahu adalah saudara-saudaraku. Setelah tujuh bulan ayahku wafat, ibuku menyusul ke alam baqa. Jenazah ibuku dibawa dan dikuburkan di Najef (Irak).
“Tidak lama kemudian aku bermimpi: seolah-olah aku duduk di rumahku. Ketika ayahku masuk, aku berdiri dan mengucapkan salam. Kemudian ia duduk di depanku dan menyapaku dengan lemah lembut, dan aku tahu bahwa ia telah meninggal. Lalu aku bertanya: Bukankah ayah telah meninggal di Isfahan?
“Ayahku menjawab: ya, tapi mereka memindahkan aku ke Najef, dan aku sekarang tinggal di sana.
Aku bertanya: “Ibu di dekat ayah?”
Ayahku menjawab:”Tidak”
Aku bertanya:”Ibu tidak tinggal di Najef?”
Ayahku menjawab:”Ya, tapi di tempat lain.”
“Aku baru tahu bahwa tempat tinggal orang alim lebih mulia dari ora yang tidak alim.”
Kemudian aku bertanya tentang keadaanya. Ayahku menjawab:”Dahulu kuburku kesempitan dan sekarang alhamdulillah dalam kedaan yang baik. Kesempitan dan himpitan menghilang dariku.”
Aku heran atas kejadian itu dan bertanya: “Ayah dalam kesempitan?”
Ayahku menjawab: “Ya, karena Haji Ridha bin A’a Babasy Syahir menagihku, dan itu yang menyebabkan keburukan keadaanku.”
Aku bertambah heran. Lalu aku terbangun dari tidurku dalam keadaan takut dan heran. Kemudian aku mengirim surat kepada saudaraku tentang wasiat ayahku dalam mimpiku. Dalam suratku aku bertanya, apakah ayahku pernah berutang kepadanya.
Orang tersebut berkata: “Ya, ayahmu punya utang kepadaku sebesar delapan belas Tuman (mata uang Iran), dan tidak ada seorangpun yang tahu kecuali Allah. Setelah wafatnya aku pernah bertanya kepadamu: apakah namaku ada dalam daftar buku harian ayahmu? Kamu menjawab tidak ada. Aku kecewa dan hatiku terasa sesak, karena aku pernah meminjamkan uang padanya tanpa bukti secarik kertas, dan aku yakin ia tidak mencatat dalam buku hariannya. Saat itu aku pulang dengan hati yang kecewa.
“Kemudian saudaraku berkata kepadanya bahwa aku bermimpi hal itu, dan akan membayarkan utang ayahku. Kemudian orang tersebut berkata: karena berita dari saudaramu ini, sekarang utangnya aku relakan dan aku ikhlaskan.”
Kisah yang dikutip oleh Syeikh An-Nuri dalam kitabnya yang berjudul Dar As-Salam 2: 164 ini menunjukkan kepada kita bahwa utang itu ternyata sangat berpengaruh pada nasib kita kelak di alam kubur. Jika kita masih dalam kondisi berutang lalu meninggal dunia, maka kelak kondisi kita akan dipersulit sebelum utang kita ada yang melunasinya atau orang yang mengutangi kita mengikhlaskannya.
Kasus di atas menunjukkan pada kita bahwa orang saleh pun akan mengalami hal yang kurang nyaman di dalam kuburnya karena utang yang belum dilunasinya. Jadi, kita jangan menganggap sepele pada utang meski kecil sekalipun.
Bahkan, dalam sebuah Hadits disebutkan bahwa ruh orang meninggal dunia akan ditahan di tempatnya karena utang yang belum dilunasinya. Hal ini diketahui berdasarkan hadits Nabi, “Ruh seorang mukmin tertahan karena utangnya hingga ia dilunasi.”(HR Ahmad dalam Al-Musnad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Menurut Al-Iraqi, maksud tertahan dari hadits di atas adalah “Tertahan pada tempatnya yang mulia.” Dikatakan olehnya bahwa urusan orang mulia yang berutang itu di diamkan, tidak dapat dihukumi bahwa ia selamat atau binasa hingga dilihat apakah utangnya yang menjadi tanggungannya dilunasi atau tidak. “Jadi, utang akan menimbulkan azab kubur hingga dilunasi,” tulis M. Abdul Malik Az-Zaghabi dalam “82 Pertanyaan tentang Alam Kubur”.
Mas’ad bin Al-Athwal berkisah bahwa saudaranya meninggal dengan mewariskan 300 dirham serta meninggalkan keluarganya yang menjadi tanggunannya. Mas’ad berkata, Saya hendak menginfakkan seluruh warisannya kepada keluarga yang ditinggalkan.” Nabi bersabda, “Sesungguhnya saudaramu tertahan karena utangnya, (pergilah) dan lunasilah utangnya.”
Maka saya pun melunasinya. Kemudian saya menghadap Rasulullah, saya telah melunasinya kecuali dua dinar yang diklaim oleh seorang wanita, namun dia tidak memiliki bukti.” Rasulullah bersabda, “Berikanlah kepadanya karena dia memang yang berhak.”(HR. Ibnu Majah, Ahmad dan al-Baihaqi).
Kisah lain datang dari Samurah bin Jundab bahwa Nabi pernah menyalati seorang jenazah-dalam riwayat lain shalat Subuh. Ketika pulang, beliau bertanya, “Apakah di sini ada anggota keluarga si fulan?” Kaum yang ditanya diam saja. Dan memang begitulah kebiasaan mereka. Jika didahului dengan pertanyaan, mereka diam. Maka Nabi melontarkan pertanyaan beberapa kali dan tidak seorang pun yang menjawabnya). Seorang laki-laki berkata, “Ada itulah orangnya!”.
Berdirilah seorang laki-laki menyeret kainnya dari barisan paling belakang. Nabi berkata kepadanya, ”Apa yang menghalangi mu tidak menjawab pertanyaanku yang pertama dan yang kedua? Sedang aku, tidak memanggil nama kalian kecuali demi kebaikan. Sesungguhnya fulan –kepada seorang laki-laki dari mereka- tertahan oleh utangnya (dari surga). Terserah kalian apakah akan melunasinya atau membiarkannya dalam azab kubur. Andai saja ada anggota kelurganya atau orang lain yang peduli membayarkan utangnya, hingga tidak ada seorang pun yang menuntutnya.” (HR Abu Daud, An-Nasai, Al-Baihaqi dan al-Hakim).
Begitu vitalnya masalah utang ini, hingga jihadnya seorang hamba di jalan Allah (mati syahid) pun tidak bisa menghapusnya. Abdullah bin Amer meriwayatkan sabda Nabi, “Terbunuh di jalan Allah menghapuskan segala dosa kecuali utang.”(HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, An-Nasai, At-Tirmidzi, Malik dan Darimi).
Bayangkan, seorang syahid tidak lantas masuk surga jika ia masih memiliki utang. Selama utang itu belum di bayar, keadaannya digantung di akhirat nanti, apakah ia masuk surga atau neraka. Setelah utangnya dipastikan terbayar, ia baru divonis Allah untuk masuk surga. Jadi, betapa urgensinya nilai nilai sebuah utang ini, meski sangat kecil sekalipun angkanya. Sekali lagi, janganlah kita menganggap remeh pada utang.
Sumber: Majalah  Hidayah Edisi 89 Januari 2009

0 komentar:

Post a Comment