Ujung Jalan

Akhir perjalanan adalah maut. Dunia adalah kendaraan seorang mukmin, yang dengannya dia berangkat menuju Tuhanya. Maka perbaikilah kendaraan kalian, niscaya ia akan membawa kepada Tuhan kalian.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rumah di atas laut

Senja di Perkampungan Suku Laut. Usiaku memasuki rembang petang digerogoti oleh zaman, mentari sebentar lagi kan tenggelam berganti dengan malam.

KEANGKUHAN

Ketegaranku untuk mempertahankan kokohnya pendirian. Aku berdiri tegak ditopang dengan dengan kekuatan yang maha dahsyat.

KINCIR ANGIN

Tak pernah lelah aku selalu bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Kadang aku berada diatas kadang di bawah selalu berganti. Aku bekerja siang dan malam.

Tes Paragraf

Friday, November 23, 2018

Humor Sufi: Mungkinkah Ayam yang Sudah Dimasak Dapat Bertelur?


Suatu saat, seorang pedagang melakukan perjalanan. Karena kelelahan, ia memutuskan untuk bermalam di sebuah penginapan. Tak berselang lama, pelayan hotel menyuguhkan ayam dan dua butir telur serta sepotong roti untuk santap malam. Keesokan harinya, pedagang itu bermaksud melanjutkan perjalanannya.
“Soal tagihanku, kita perhitungkan nanti saja setelah aku kembali,” kata pedagang itu. Tak terasa tiga bulan berlalu. Pedagang itu kembali bermalam di penginapan itu. Pelayan hotel kembali menyuguhkan ayam dan dua butir telur seperti sebelumnya. Ketika pedagang itu bangkit dan pergi, ia menemui pengelola hotel.
“Maaf Pak, sudah lama aku belum mebayar utang. Berapa jumlah utangku sekarang?” kata pedagang itu membuka percakapan.
“Wah, itu sudah lama sekali. Bayar saja aku dua ratus piesters (nilai mata uang yang cukup besar waktu itu), lalu kau boleh pergi,” jawab pemilik hotel.
Pedagang yang tahu betapa harganya uang sebesar itu menjawab, “Wahai Tuan, apakah engkau sudah gila? Apa maksud permintaanmu dua ratus piesters sebagai harga dari dua potong ayam dan empat telur?”
“Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa seharusnya sudah lama kau harus melunasinya. Jika aku terangkan secara rinci, maka akan jelas permasalahannya. Dan engkau tidak bisa mengelak karena engkau sudah datang sejak tiga bulan lalu ke penginapan ini.
“Ayam yang engkau makan tiga bulan lalu jika setiap hari bertelur pasti sudah mengeluarkan telur yang banyak sekali dan jika telur-telur itu diletakkan dibawahnya agar dierami, maka akan menetas beberapa ekor anak ayam, dan jika ayam-ayam itu besar pasti akan bertelur lagi.
“Dan jika semua itu dijumlahkan, maka aku akan mempunyai pasukan ayam dan jumlahnya pasti sudah ribuan piesters saja, dan pasti jumlah yang aku minta terlalu sedikit dibanding kerugian yang semestinya aku terima,” kata pengelola hotel.
Perang mulut di antara mereka terus berlanjut, sehingga pertengkaran ini berakhir di persidangan.
“Apakah engkau tak mampu membayar harga dua ekor ayam dan telurnya?” Tanya jaksa kepada pedagang.
“Karena harganya terlalu murah, aku berkata kepada pemilik penginapan untuk membayarnya nanti saja setelah aku kembali,” jawab sang pedagang.
“Bukankah dua ekor ayam dan empat butir telur dapat menelurkan ribuan telur lagi?”
“Sudah pasti.”

Baca: Tuan Hakim Yang Bodoh 
 
Lantas pedagang tersebut mengutarakan beberapa argumen, namun tidak diterima oleh jaksa. Ketika ia mengetahui bahwa hakim akan menjatuhkan sangsi kepadanya dengan membayar dua ratus piesters, hatinya mulai gusar, dan ia minta kepada hakim untuk menunda putusan. Jaksa pun menunda hasil putusan siding.
Di luar persidangan, pedagang tersebut berdiskusi dengan teman-temanya mengenai langkah apa yang bisa dilakukan dirinya agar mendapatkan putusan yang bijak. Beberapa orang menyarankan kepadanya untuk menemui dan menyampaikan perkaranya kepada Juha.
Akhirnya pedagang tersebut nenemui Juha dan menceritakan permasalahannya dengan rinci. Pedagang tersebut memberi kuasa kepadanya agar membelanya dalam persidangan.
Tapi saat hari persidangan tiba, Juha tidak menunjukkan batang hidungnya. Inilah yang membuat jaksa kesal karena harus menunggu Juha, dan akhirnya ia mengutus seseorang untuk menjemput Juha.
“Mengapa kamu tidak datang tepat waktu dan membiarkan kami menunggu terlalu lama? Kamu telah membuat peserta siding menunggu,” kata jaksa dengan nada marah kepada Juha tatkala Juha menginjakkan kakinya di tempat persidangan.
“Jangan marah Pak, ketika aku ingin datang ke pengadilan pada waktunya, teman yang aku minta untuk menanam gandum di ladang akan datang. Aku menemuinya dan memberikan sebungkus biji gandum yang sudah ditumbuk. Karena sepengetahuanku para petani menanam biji gandum namun aku tidak mendapat bagian dari hasil panennya.
“Oleh karena itulah aku menanam gandum yang sudah ditumbuk dengan harapan dapat menghasilkan panen yang banyak, aku memberikan dua bungkus biji gandum yang sudah ditumbuk. Itulah sebabnya kenapa aku bisa terlambat datang ke persidangan ini,” Juha menerangkan.
“Apakah kalian dengar bahwa biji gandum yang sudah ditumbuk dapat tumbuh kembali?” Tanya jaksa.
“Apakah ayam yang sudah dimasak dapat bertelur? Dan apakah telur itu dapat menetas lalu bekembang menjadi ayam yang besar? Dan apakah pantas menghukum pedagang atas dua ayam, dan empat telur yang dimakannya dengan bayaran sebesar dua ratus piesters?” Juha balik bertanya.
Mendengar penuturan Juha, jaksa tidak bisa berbuat apa-ap. Terpaksa, jaksa membatalkan putusannya dan melepaskan Juha serta memerintahkan pemilik penginapan untuk pulang.
Sumber: Hidayah Edisi 81 Mei 2008

Wednesday, November 21, 2018

HUMOR SUFI: Tuan Hakim Yang Bodoh


Pada suatu tengah malam, seorang pencuri memanjat tembok orang kaya yang terkenal bakhil dan bodoh. Ketika pencuri itu menginjak ambang jendela, ternyata kayunya sudah rapuh hingga runtuh. Akibatnya pencuri itu pun terjerembab ke tanah. Kakinya patah dan tidak dapat berlari. Karena itu, dengan mudah ia diringkus dan dihadapkan kepada hakim.

Konon, hakim negeri itu masih ada hubungan family dengan Raja. Otaknya bebal, dan tadinya tidak punya pekerjaan. Supaya memperoleh penghasilan dan agar ia dapat dikendalikan, Raja justru mengangkat orang bodoh tersebut menjadi hakim.

Begitulah. Malam itu, setelah pencuri berada di mukanya, sang hakim pun bertanya, “Tahukah kamu mengapa dibawa kehadapanku?”.

Pencuri itu berakal cerdik. Maka dengan berani ia menjawab, “Saya dihadapkan kemari untuk mengadukan suatu urusan.”

“Urusan apa?” Tanya hakim.

“Begini. Saya baru saja memanjat tembok orang kaya itu,” sambil menunjuk kea rah si hartawan. “Pada waktu menginjak ambang jendela kamarnya, kayunya patah sehingga saya terjatuh dan luka-luka. Maka saya datang menghadap agar Tuan menghukum orang kaya itu. Karena gara-gara ketelodorannya memasang kayu yang rapuh, saya pun mendapat celaka.”

Hakim goblok itu mengangguk-angguk. “Apa betul, hai hartawan, kayu jendelamu patah?” Orang kaya itu menyahut, “Betul, Tuan.”

Kata hakim bila demikian, engkau akan kuhukum tiga tahun penjara. Jika kelak ternyata si pencuri meninggal dunia, engkau pun akan dihukum mati.”

Hartawan itu gemetar. Namun, dengan kecerdikannya ia menyanggah, “Seharusnya kesalahan itu tidak ditimpakan kepada saya, Tuan Hakim. Sebab bukan saya yang bersalah. Tukang kayu yang memasang jendela itulah yang harus dihukum.”

Hakim goblok itu bisa juga berpikir. Ia menggumam, “Betul, betul. Yang salah memang tukang kayunya. Bukan hartawan ini.”

Maka hakim pun memerintahkan untuk mencari si tukang kayu, sedangkan hartawan tersebut segera dilepaskan.

Setelah tukang kayu itu tertangkap dan dibawa ke meja hijau, hakim bertanya, ”Betulkah kamu yang membuat dan memasang jendela di rumah orang kaya itu?”

Tukang kayu itu mengangguk sejujurnya. Sebab ia merasa tidak punya kesalahan apa-apa.

Hakim berkata, “Kalau begitu, kamu akan dihukum tiga tahun. Sebab, akibat kelalaianmu menyebabkan seorang pencuri terjatuh dan luka-luka. Kalau pencuri itu meninggal dunia, engkau pun akan dihukum mati.”

Untung tukng kayu cepat tanggap. Ia cepat membantah, “Maaf, Tuan Hakimyang terhormat. Saya mengaku membuat jendela itu kurang kuat. Tetapi, yang salah bukan saya.”

“Siapa?” Tanya hakim.

“Seorang gadis berbaju mera.”

“Alasanmu?”

“Begini, Tuan, “jawab tukang kayu. “Waktu saya sedang mengerjakan jendela, lewatlah gadis berbaju merah itu dengan lenggangnya yang menawan. Saya terpesona oleh baju merahnya yang serasi, jadi mata saya tertuju terus kepadanya.”

“Wah, kurang ajar gadis berbaju merah itu, “sambut Tuan Hakim. “Pengawal! Cari dan seret gadis berbaju merah itu kemari.”

“Dengan paksa akhirnya gadis berbaju merah itu di bawa menghadap hakim setelah digerebek di pasar. Ia langsung ditanya oleh hakim. “Apa benar kata tukang kayu? Pada waktu ia sedang membuat jendela, kamu berjalan di muka rumahnya dengan memakai baju mera?”

“Gadis itu mengangguk polos. Dan anggukan itu mengundang malapetaka. Sebab ia pun diancam akan dihukum. Maka dengan keras ia berkilah, “Kalau soal baju merah, sudah tentu yang salah bukan saya.”

“Jadi, siapa?” Tanya hakim menghardik.

“Tukang celup baju. Mengapa ia mencelup baju saya berwarna merah?”

“Hem, alasanmu masuk akal. Memang tukang celup itu yang harus dijatuhi hukuman setimpal,” ujar hakim.

Secara tangkas para punggawa yang diperintahkan menangkap tukang celup dapat menemukan rumahnya. Karena ia tidak bisa berdalih, akhirnya hukuman tiga tahun dijatuhkan kepadanya. Malang pula nasibnya. Beberapa minggu kemudian, si pencuri sakit dan meninggal dunia. Sesuai dengan keputusan semula, si tukang celup yang kebetulan bertubuh amat jngkung itu dikeluarkan dari selnya dan dibawa menuju tiang gantungan untuk dihukum mati.

Baca: Abu Nawas Membuat Onar di Tengah Pasar
 

Sesudah jerat terpasang di leher tukang celup itu, ternyata tiang gantungannya terlalu pendek dibandingkan dengan tinggi badan si tukang celup yang amat jangkung tersebut. Maka selama dua jam tukang celup itu tidak mati-mati.

Algojo pun kebingungan. Ia mendatangi tuan hakim dan mengadu, “Maaf, Tuan. Sudah dua jam tukang celup itu belum mati.”

“Sebabnya?” Tanya hakim keheranan.

“Orangnya terlalu jangkung sedangkan tiang gantungannya sangat pendek.”

“Bodoh kamu,” damprat hakim. “Begitu saja tidak bisa diatasi.”

“Bagaimana, Tuan?” Tanya algojo.

“Jika dia terlalu tinggi, cari lah tukang celup lain yang pendek. Gantunglah tukang celup yang pendek itu.”

Hari itu juga tukang celup yang jangkung dibebaskan, sedangkan seorang tukang celup berbadan kerdil ditangkap lalu dijatuhi hukuman gantung. Ia tidak ada kaitan apa-apa dengan perkara itu.

Kesalahannya Cuma satu: Kebetulan tubuhnya pendek dan hakim negeri itu orang paling bodoh yang pernah memegang wewenang hukum. Untunglah kejadian semacam itu tidak terulang lagi. Sebab, sesudah Raja yang lama meninggal dunia, Raja yang baru adalah seorang pemimpin Negara yang bijak dan adil. 
(Hidayah Edisi 43 Tahun 2005)

Friday, November 16, 2018

REBO WEKASAN: Tradisi Tolak Bala dan Ungkapan Syukur


Tradisi in cukup masyhur di kalangan masyarakat Jawa. Namun ada banyak versi yang mengklaim kemunculanya, lantaran masing-masing daerah berbeda-beda dalam mempraktekannya

Rebo wekasan atau yang dikenal juga dengan istilah rebo pungkasan adalah Rabu terakhir di bulan safar. Pada hari itu, terdapat momentum khusus yang lazim dilakukan sebagian besar masyarakat Jawa tempo dulu.


Ada banyak daerah yang mengklaim kemunculannya. Gresik, misalnya, mengklaim bahwa tradisi rebo wekasan berasal dari sana. Disebutkan bahwa zaman dahulu terjadi bencana kekeringan di sebuah desa bernama Pelaman. Padahal Sunan Giri telah memberikan petunjuk kalau ada sumber air yang sangat besar di sekitar Mesjid Pelaman. Sayang, lama kelamaan sumber air tersebut menyusut.

Sunan Giri lalu memberi petunjuk kepada warga; jika mereka menemukan tempat yang banyak tumbuh pepohonan, maka aka nada sumber air di sana. Setelah beberapa lama mencari, akhirnya mereka menemukan tempat tersebut di sebuah desa yang bernama Pongangan.


Kebetulan, hai itu bertepatan dengan hari Rebo (Rabu) terakhir di bulan Safar. Untuk mengenangnya, warga pun senantiasa memperingati peristiwa tersebut dengan beragam ucapan adat.

Di Yogyakarta, tepatnya di desa Wonokromo, Plerde, Bantul, juga mengklaim menyelenggarakan rebo wekasan. Yakni gelarnya sebuah upacara pada Selasa malam atau malam Rabu.


Konon, hari yang terakhir dalam bulan Safar itu merupakan hari pertemuan antara Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan Kyai Faqih Usman. Berdasarkan hari itulah kemudian masyarakat menamakannya dengan upacara rebo wekasan atau rebo pungkasan. Ketika itu, upacara dipusatkan di depan masjid. Namun seminggu sebelumnya, terlebih dahulu diselenggarakan pasar malam.


Upacara rebo wekasan ini sendiri dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, serta ungkapan terima kasih pada Kyai pertama di Wonokromo  Kyai Faqih Usman atau Kyai Welit yang bisa menyembuhkan segala penyakit dan dapat memberikan berkah untuk kesuksesan usaha atau untuk tujuan-tujuan tertentu.


Selain itu, ada yang menyelenggarakan rebo wekasan dengan jalan-jalan ke pantai untuk mandi dengan maksud untuk menycikan diri dari segala kesalahan dan dosa. Namun ada pula yang merayakannya dengan riungan (kumpul bersama) di pagi hari di sebuah masjid. Riungan itu dipimpin oleh imam masjid dan diiringi dengan tahlil dan tahmid serta diakhiri dengan do’a tolak bala. Setelah itu, barulah jamuan dibagikan kepada peserta riungan untuk dimakan bersama-sama.

Masih dengan maksud menolak bala, di sebagian tempat ada yang menyelenggarakan rebo wekasan dengan shalat, baik dilakukan secara sendirian maupun berjamaah. Karena itulah shalat tersebut dinamakan shalat rebo wekasan. Shalat ini biasanya dikerjakan pada rabu pagi akhir bulan Safar setelah shalat Isyraq, kira-kira mulai masuk waktu Dhuha.


Terkait dengan shalat rebo wekasan ini, Ahmad Buwaethy dalam rebo wekasan menyatakan bahwa tradisi ini bisa jadi bersumber dari sebuah buku berjudul “Kanzun Najah” karangan Syekh Abdul Hamid Kudus. Di dalamnya diterangkan bahwa sebagian ulama ahli mukasyafah (sebutan ulama sufi tingkat tinggi) sering melaksanakan shalat pada setiap rabu di akhir bulan Safar. Karena pada hari itu diturunkan 360.000 malapetaka dan 20.000 macam bencana ke bumi.


Bagaimana menyikapi?

Banyak cara dan versi sejarah maupun mitos kemunculannya mengindikasikan bahwa praktek rebo wekasan merupakan bagian tak terpisahkan dari tradisi sebagian besar masyarakat Islam di Jawa.


Keinginan mengungkapkan syukuran, membersihkan diri membaca do’a tolak bala dan do’a selamat, serta bergembira bersilaturahim dengan makan bersama tak lain merupakan merupakan ajang tahunan warga setempat yang sangat psitif.

Sayangnya tak dimungkiri, cukup banyak juga memodifikasi perhelatan rebo wekasan ini dengan acara diluar dari yang disebutkan di atas. Terutama sampai menjurus kepada hal-hal yang  berbau syirik, apalagi pada perbuatan asusila dan tindak kriminal. 


Seperti pelaksanaan shalat rebo wekasan yang secara nyata bersumber pada pendapat ahli mukasyafah saja. Atas dasar itulah mayoritas ulama mengatakan shalat tersebut tidak dianjurkan, dengan alas an tidak ada Hadits yang menerangkannya.


Sikap baik terhadap hal ini adalah mengembalikannya pada aturan bahwa semua ibadah didasarkan atas perintah. Jika perintah tersebut tidak ada, tentunya khawatir akan melenceng dari yang digariskan agama. Sebab hakikatnya semua shalat yang kita kerjakan baik wajib maupun sunah dapat menolak bala.


Selain shalat rebo wekasan, adanya anggapan bahwa mandi Safar sebagai media pencuci dosa, tarian bersama sinden dengan memasukkan uang ke kemben bagian dalam dada sinden, minuman-minuman, judi dan seterusnya adalah hal yang tak bisa dipisahkan dari perhelatan rebo wekasan. Tradisi seperti ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam. 


Padahal masih banyak hal-hal positif dari tradisi rebo wekasan yang bisa diterima. Apalagi kalau kita bisa menjadikan tradisi ini sebagai media syiar Islam. Karena itu, perlua kearifan dalam memaknai dan mempraktekan tradisi ini. (Hidayah Edisi 90 Februari 2009).